Yang membuat Theo semakin ‘tertampar’ bukan sekadar nilai rumah atau latar belakang keluarga, melainkan sikap sehari-hari temannya yang jauh dari kesan pamer.
“Itu pertama kalinya gue ketemu. ‘Mau dessert gak?’ Mau. Datang ke kulkas, kalian tau gak kulkas yang di store Häagen-Dazs? Itu di rumahnya,” paparnya.
Bahkan hal sesederhana air minum pun menjadi simbol kemewahan yang nyaris tak pernah dipamerkan.
“Boleh minta air mineral? Boleh. Tau air mineral di rumahnya apa? Evian,” ujar Theo seraya tersenyum.
Namun, kata Theo, semua itu disajikan tanpa sikap sombong, tanpa cerita berlebihan, dan tanpa keinginan untuk mengintimidasi siapa pun.
Dari pengalaman tersebut, Theo mengaku mendapatkan dampak yang sangat mendalam.
“Sejak hari itu, tidak pernah gue sekalipun berani memamerkan apa yang gue punya. Karena gue kena mental, teman-teman,” ujarnya jujur.
Ia mengakui bahwa pertemanan tersebut menjadi pengingat keras bahwa kesuksesan sejati tidak perlu diumbar.
“Untung tiga tahun gue kenal dia, gue gak pernah banyak gaya,” tegasnya.
Theo pun menyampaikan pesan penting yang ia petik dari keluarga temannya, terutama sang ayah.
"Bokapnya selalu mengajarkan, jangan pernah melihat orang dari kekayaan yang mereka punya. Karena kualitas orang tidak ditentukan dari sana,” bebernya.
Bahkan, menurut Theo, sang ayah dengan rendah hati menegaskan bahwa kesuksesan juga tak lepas dari faktor keberuntungan.
"Kita bisa sampai titik ini juga karena banyak beruntungnya," begitu pesan yang ia ingat betul.
Di akhir kisahnya, Theo menyampaikan peringatan yang sederhana, tapi sangat mengena.
"Hati-hati kalau ketemu orang-orang humble. Jangan belagu kalian," tandasnya.
Baca Juga: Profil Theo Derick: Tumbuh di Gang Sempit, Kini Jadi Entrepreneur dan Kreator Finansial Berpengaruh