Skeptisisme terhadap AI dan teknologi

Seiring dengan perkembangan AI, survei ini tidak hanya diisi oleh para owner atau eksekutif, tetapi juga dari partnernya. 60% bisnis keluarga di Indonesia memandang teknologi AI lebih sebagai risiko, alih-alih peluang (21%). 

Hal ini bertentangan dengan perspektif global, yakni 61% memandang AI lebih sebagai peluang. Dalam hal investasi, sebagian besar bisnis keluarga di Indonesia (51%) mengambil pendekatan “tunggu dan lihat” serta tidak memprioritaskan investasi teknologi baru.

Surat wasiat dalam bisnis keluarga

79% bisnis keluarga di Indonesia memiliki kebijakan tata kelola keluarga, Lebih bagus dibanding 2 tahun lalu yaitu 68%. Namun, terdapat kontras yang cukup signifikan di Indonesia, pembahasan mengenai surat wasiat yang merupakan bagian penting dalam bisnis keluarga, di Indonesia cenderung tidak mau menanggapi hal ini. 

Selain itu, hanya 13% keluarga Indonesia yang memiliki Surat Wasiat/ Wasiat Terakhir, perbedaan yang sangat signifikan dibandingkan dengan angka global sebesar 45%.

Keberadaan kantor keluarga 

Kantor keluarga kurang umum di Indonesia. Di antara semua itu, sebagian besar bisnis keluarga di Indonesia mengoperasikan model kantor keluarga tunggal, preferensi yang kuat untuk mempertahankan kendali dan kerahasiaan dalam mengelola kekayaan keluarga.

“Sementara itu, tantangan lainnya, tingkat global maupun di Indonesia bahwa keterampilan dan edukasinya masih belum sepenuhnya sesuai, jadi memang dua PR dari hal ini, di sisi lain next gen-nya harus mempersiapkan diri ya,” ujar Marcel.

Data menunjukkan bahwa tingkat konflik yang muncul dari waktu ke waktu pada perusahaan keluarga di Indonesia relatif lebih tinggi. Hal ini membuktikan bahwa komunikasinya masih kurang. Selain itu, penanganan konflik umumnya dilakukan secara mandiri. 

Dalam hal kepemimpinan, terdapat anggapan bahwa kekuatan leadership merupakan faktor penting bagi perkembangan perusahaan keluarga, sebab Leadership yang kuat dipandang sebagai salah satu hal utama.