Presiden RI Prabowo Subianto baru-baru ini menjadi sorotan publik setelah ia melontarkan pernyataan yang berbuntut polemik, kepala negara mewacanakan pengampunan hukum terhadap para koruptor yang mau bertobat dan hendak mengembalikan kekayaan negara yang dicuri.
"Hai para koruptor atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kami maafkan," kata Prabowo dalam pertemuan dengan pelajar Indonesia di Kairo, Mesir, 18 Desember lalu.
"Tapi kembalikan dong. Nanti kita beri kesempatan cara mengembalikannya, bisa diam-diam supaya tidak ketahuan," ujarnya.
Baca Juga: Menteri Prabowo Jamin Transaksi Pakai QRIS Bebas PPN 12 Persen
Pernyataan Prabowo oleh sebagian orang dianggap vulgar dan sensasional, kepala negara lantas dikritik sana-sini lantaran dianggap sedang berupaya memanipulasi hukum. Sejumlah pakar hukum bahkan menentang keras wacana itu, sebab pemberian maaf kepada para koruptor dianggap tak pernah diatur dalam Undang undang 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Salah satu pakar hukum yang tak sependapat adalah Bivitri Susanti. pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera sekaligus pemeran dalam dokumenter Dirty Vote itu mengaku sepakat dengan pengembalian kekayaan negara oleh para koruptor, hanya saja ia tak sepakat, jika tindakan pengembalian harta kekayaan itu diganjar dengan pengampunan hukum yang diberikan negara. Kalau mau kata dia, kekayaan para koruptor dirampas negara,namun mereka tetap dihukum maksimal sesuai perbuatan mereka
"Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut,” kata Bivitri.
Bivitri mengakui, dalam UUD 1945 memang sudah diatur bahwa presiden dapat memberi pengampunan hukum atau amnesti dan abolisi kepada para pelaku kejahatan. Namun kewenangan itu kata dia tak bisa dipakai semata-mata hanya untuk kepentingan tertentu. Amnesti dan abolisi kata dia perlu pertimbangan matang.
Dalam sistem hukum Indonesia, amnesti dan abolisi adalah sesuatu yang lazim, pengampunan hukum yang diberlakukan selama ini berlandaskan UU nomor 11 yang dikeluarkan tahun 1954. Namun dalam UU itu tak dijelaskan kategori tindak pidana yang layak mendapat pengampunan hukum.
"Secara konsep, yang namanya pengampunan koruptor itu tidak dikenal. Amnesti dan abolisi itu bukan untuk kepentingan yang sifatnya diskresional yang tidak bisa diukur secara konstitusional," tegas Bivitri.
Klarifikasi Gerindra
Pernyataan Prabowo yang berpolemik membuat elite partai Gerindra Ahmad Muzani sampai angkat bicara, ia mencoba meluruskan apa yang dikatakan Prabowo.
Muzani bilang, tujuan dari pernyataan Prabowo sebenarnya untuk meningkatkan efektifitas hukum. Mereka yang dihukum setidaknya bermanfaat bagi negara. Muzani mengatakan, sebenarnya Prabowo hanya sedang memaparkan sebuah gagasan.
"Memang arah hukuman terhadap narapidana dalam tren hukum internasional itu pada efektivitas manfaat. Menghukum harus memberi nilai manfaat," kata Muzani.
Baca Juga: Jokowi-Gibran Kompak Buka Suara Soal Pemecatan PDI Perjuangan
"Pak Prabowo sedang menyampaikan sebuah gagasan itu sebenarnya. Di satu sisi hukuman harus berjalan, tapi di sisi lain nilai manfaat bagi negara juga harus ada," imbuh Muzani.
Kebut RUU Perampasan Aset
Menurut Muzani pemerintahan Prabowo sangat serius dalam penegakan hukum, kepala negara kata dia bahkan berkomitmen agar Rancangan Undang-undang perampasan aset segera dibahas bersama DPR. UU Perampasan Aset lanjut Muzani efektif untuk memberantas korupsi.
"Perampasan aset. Nah di satu sisi itu harus berjalan, kira-kira begitu. Saya kira iya dari awal (jadi concern Presiden)," ucapnya.
DPR hingga kini tak kunjung memasukkan RUU Perampasan Aset meski selama ini RUU tersebut dianggap penting sebagai bagian dari pemberantasan korupsi. Teranyar, RUU Perampasan Aset tak masuk Prolegnas 2025 yang telah diketuk oleh DPR.
Baca Juga: Sebut Kenaikan PPN Sudah Disepakati Pemerintahan Sebelumnya, PDI-P: Kami Tak Menyalahkan Pak Prabowo
RUU Perampasan Aset hanya masuk prolegnas jangka menengah. RUU Perampasan Aset mandek selama lebih dari satu dekade setelah naskah RUU tersebut pertama kali disusun pada 2008.
Pada 2023 RUU Perampasan Aset masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2023. Presiden ke-7 RI Joko Widodo juga telah mengirim surat presiden (surpres) RUU Perampasan Aset.
Surpres itu bernomor R 22-Pres-05-2023 dikirim tanggal 4 Mei 2023 untuk dibahas bersama DPR. Namun, setahun berlalu RUU tersebut tak kunjung selesai.