Sebagian besar publik Tanah Air hampir dipastikan mengenal nama Andy Flores Noya, pria plontos itu sudah wara-wiri di dunia pertelevisian Indonesia sejak lama. Namanya mulai melambung dan dikenal khalayak luas setelah menorehkan kesuksesan besar dalam gelar wicara  Kick Andy yang tayang di  Metro TV. 

Nama besar Andy Noya yang kita kenal sekarang dulunya hanyalah seorang pemuda biasa-biasa saja dari keluarga kelas bawah, ayahnya hanya berprofesi sebagai mekanik mesin ketik, sementara ibunda hanya ibu rumah tangga seperti kebanyakan ibu-ibu di era itu. 

Baca Juga: Kisah Andy F. Noya Bertahan Hidup Semasa Kuliah: Aku Memilih Menahan Lapar

Datang dari keluarga biasa saja yang cenderung kekurangan materi, Andy menyimpan bakat yang luar biasa besar. Ia jatuh cinta pada dunia kepenulisan sejak belia, selain menulis Andy punya kemampuan menggambar yang mumpuni yang ia dapat secara alamiah. 

Kecerdasan-kecerdasan seperti ini yang kelak menyelamatkan Andy  walau itu tak bertahan lama, semua karyanya ia jual untuk bertahan hidup dan ongkos kuliah.  

Menjual Karikatur 

Seperti yang sudah disinggung di awal tadi, Andy bukan orang yang berasal dari keluarga yang berkecukupan secara materi, perjalanan hidup yang ia tapaki jelas tidak mudah, tetapi ujian sebenarnya ia alami saat masuk bangku kuliah. 

Menjadi mahasiswa, cobaan hidup justru menamparnya dengan keras berkali-kali, tetapi Andy tak tumbang kendati ekonominya pincang, sampai pada satu titik pria kelahiran Surabaya, Jawa Timur 6 November 1960 itu merasa hidupnya tak adil. Ia gusar sebab cobaan datang dan pergi tak berkesudahaan. 

“Itu yang membuat aku mulai marah pada Tuhan. Tapi ternyata Tuhan memberikan aku talenta. Talenta apa? Aku ini pandai menggambar. Kemudian aku dikaruniai kemampuan menulis,” kata Andy dilansir Olenka.id Senin (30/9/2024).

Sadar dengan talenta menggambar, Andy mencoba mencari peruntungan lewat bakatnya itu, ia menjual kartu ucapan, baik ucapan ulang tahun maupun hari raya dan itu laku keras di kalangan mahasiswa. 

“Nah, aku cari makan, menambah uang kuliah dengan membuat karikatur di kampus. Aku bikin karikatur. Modalnya cuma water color, cat air, karton, alat-alat gambar. Aku pintar dan aku jual di kampus,” kenangnya. 

“Lebaran, teman-teman semua pesan ke aku kartu lucu-lucu karikatur. Seperti di lapangan banteng, kalau teman-teman yang pernah tahu di lapangan banteng dulu ada orang menulis yang bagus-bagus. Nah, aku mampu itu,” ucapnya. 

Meski laku keras, tetapi yang menjadi masalah setiap hari bukan hari raya, pun demikian dengan ulang tahun yang tak selalu ada setiap harinya, kondisi ini yang memberi pelajaran kepada Andy supaya bijak berkuangan, minimal ia bisa mengatur pengeluaran supaya dapat bertahan sampai bulan berikutnya. 

Dari sini pula, Andy mulai melihat peluang lain ia menjual karya karikaturnya ke sejumlah koran besar seraya terus mengasah kemampuan menulisnya, dari titik ini, Andy perlahan terjun ke dunia jurnalisme. 

“Aku mulai bisa menulis. Aku kirim karikatur ke beberapa majalah. Dari situ aku dapat duit dan bertahan,” ujarnya. 

Dropout 

Meski dagangan kartu ucapan dan karikatur di media massa laku, tetapi penghasilannya hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Sementra administrasi dan pembayaran uang kuliah harus tetap dilunasi setiap bulannya, Andy pontang panting berkelahi sendirian menghadapi berbagai ujian berat itu. 

Puncaknya, Andy dropout dari kampus karena terkendala ekonomi itu terjadi di tahun ketiga ia menjadi mahasiswa. 

“Tapi toh, di tahun ketiga aku drop out karena masalah ekonomi,” kenangnya lagi. 

Wartawan Lepas

Menjadi mahasiswa yang putus kuliah, Andy tak patah arang, pria yang dulu berambut afro itu tetap menunjukkan kualitasnya sebagai seorang laki-laki. Ia tetap berusaha bertahan hidup berbagai macam cara.  Masa depan yang ia impikan menjadi jurnalis serta kecintaan kepada dunia kepenulisan tak pernah ia kubur begitu saja. 

Pasca melepas gelar kemahasiswaannya, Andy menjadi wartawan lepas pada 1985. Ketika itu dirinya direkrut untuk membantu majalah Tempo dalam penerbitan buku ‘Apa dan Siapa Orang Indonesia” 

“Tuhan sudah menyediakan aku pekerjaan. Apa itu? Pada saat yang sama, aku jadi wartawan freelance. Untuk penulisan buku apa dan siapa, majalah tempo. Nah, itu yang kemudian sampai hari ini aku jadi jurnalis. Walaupun tidak pernah jadi sarjana,” tuturnya.