Intuisi Ciputra di Balik Kebun Karet Tua dan Sawah Kering
Tak banyak orang yang mampu melihat masa depan di balik tanah kering, kebun tua, dan jalanan berbatu. Namun bagi Ciputra, intuisi adalah kunci untuk membaca potensi di balik kesunyian sebuah lahan.
Kala itu, matanya tertuju pada hamparan luas di sudut selatan Kebayoran. Tanah itu terdiri dari sawah kering, kebun penduduk, dan padatnya kebun karet tua. Akses menuju ke sana pun belum layak, hanya melewati Jalan Radio Dalam selebar enam meter yang masih berupa jalan berbatu.
“Beberapa kali saya menyusuri lahan luas itu. Saya membingkai dengan intuisi saya, seandainya lahan itu kami beli,” kenangnya.
Dijelaskannya, lahan tersebut membentang ratusan hektare. Di sebelah barat berbatasan dengan Ciputat menuju Bintaro, di selatan berbatasan dengan Lebak Bulus dan Pasar Jumat, di timur berbatasan dengan Jalan Fatmawati, dan di utara langsung dengan Jalan Radio Dalam dan Jalan Haji Nawi. Orang-orang menyebut kawasan ini Pondok Pinang.
Bagi banyak orang, kata dia, tanah ini tak lebih dari kebun tua tak terawat. Namun di matanya, tanah ini menyimpan masa depan yang cerah.
“Hanya dengan beberapa kali menyambangi, saya bisa pastikan lahan ini memiliki masa depan yang baik. Tanahnya bagus, tidak diwarnai banjir, dan tidak mengandung garam layaknya tanah di utara Jakarta. Udara relatif sejuk dengan sumber air yang bersih,” tutur Ciputra.
Yang membuatnya semakin yakin adalah lokasinya yang strategis. Tanah itu bertetangga sangat dekat dengan Kebayoran, kawasan prestisius Jakarta yang sejak lama dihuni orang-orang berpengaruh dan berkecukupan. Bahkan, sejak zaman Belanda, Menteng dan Kebayoran dikenal sebagai kawasan elite Ibu Kota.
“Saat itu di Jakarta ada dua kawasan yang dianggap keren dan mentereng. Menteng dan Kebayoran. Sejak zaman Bung Karno, rumah-rumah bagus dibangun di dua kawasan itu. Bahkan Menteng sudah mentereng sejak zaman Belanda. Orang-orang berekonomi makmur tinggal menyebar di dua kawasan ini,” papar Ciputra.
Baca Juga: Tangan Dingin Ciputra Memoles Wajah Pasar Senen: Ide Cemerlang yang Menembus Batas Istana
Menyulam Masa Depan dari Hamparan Tanah Gersang
Di hadapan hamparan tanah hijau di selatan Jakarta, khayalan Ciputra pun mengudara. Ia menatap jauh melampaui kebun karet tua dan sawah kering itu. Matanya melihat apa yang belum dilihat orang lain, yakni masa depan.
“Khayalan saya mengudara. Saya mencoba merasakan getaran masa depan yang mengalir dari pemandangan hijau di lahan luas itu. Ah, saya menemukan gambaran itu. Rumah-rumah mewah. Kawasan yang sangat bercahaya karena begitu menterengnya atmosfer di sana. Pusat perbelanjaan modern dan besar,” ungkapnya.
Baginya, tanah itu kelak akan berubah menjadi kawasan prestisius dengan jalan-jalan mulus yang mengarah ke berbagai sudut indah, rumah sakit bertaraf internasional, sekolah berkualitas, bahkan lapangan golf kelas dunia. Di sepanjang Sungai Grogol yang mengalir di tengahnya, ia membayangkan kawasan super mewah yang menambah daftar wilayah elite Jakarta setelah Menteng dan Kebayoran.
Tak hanya sekadar mimpi, pemikiran Ciputra berakar dari analisis mendalam tentang pergerakan kependudukan Jakarta. Baginya, pembangunan harus selaras dengan kebutuhan nyata masyarakat.
“Diam-diam sebetulnya saya sudah banyak mengamati kecenderungan pergerakan kependudukan Jakarta karena ini adalah isu yang sangat dekat dengan bisnis saya,” tukasnya.
Ia memahami, Jakarta akan terus dibanjiri pendatang dari berbagai daerah, kebanyakan dari kalangan ekonomi rendah, yang membutuhkan rumah sederhana, mungkin vertikal karena lahan kian terbatas. Kaum menengah pun akan mencari hunian layak di pinggiran Jakarta, asalkan berada di kawasan yang memiliki kelas dan standar kualitas hidup yang baik.
Namun, Ciputra juga melihat kebutuhan lain yang tak kalah penting, yakni kebutuhan kaum berada, para ekspatriat, dan investor asing yang sejak booming minyak bumi mulai berdatangan mengisi pembangunan ekonomi Indonesia.
“Para ekspatriat itu, yang kebanyakan menempatkan keluarga mereka di Singapura selama bekerja di Indonesia, akan membutuhkan rumah juga pada akhirnya. Berbagai bisnis bertumbuh mengikuti perkembangan ekonomi. Orang-orang berduit akan semakin banyak. Dan, mereka butuh rumah di kawasan mewah!,” tegasnya.
Sayangnya, saat itu belum ada dana untuk membebaskan tanah seluas itu. Bahkan, memikirkan biaya mewujudkan impian tersebut saja sudah cukup membuat banyak orang mundur. Tapi tidak bagi Ciputra. Ia menyimpan mimpinya rapat-rapat, merawatnya setiap hari.
“Setiap kali punya kesempatan menyambangi kawasan itu, saya hirup dalam-dalam getaran yang sangat kuat di sana. Kawasan yang akan menjadi wilayah mentereng di Jakarta. Harapan terus saya hidupkan. Jika impian saya kesampaian, bisa dipastikan itu adalah proyek yang akan menguras imajinasi saya yang paling dalam,” tandas Ciputra.