Masyarakat kerap kali menganggap bahwa depresi hanya masalah spiritualitas atau kurang ibadah atau soal lemahnya iman seseorang. Namun, menurut dr. Adhi Wibowo Nurhidayat, Sp.KJ(K), MPH, pandangan ini tidak tepat dan bahkan bisa memperburuk kondisi penderita.

“Depresi itu bukan karena kurang berdoa. Ini gangguan struktur otak yang harus ditangani secara medis,” tegasnya dalam diskusi kesehatan mental di RS MMC Jakarta, Kamis (10/7/2025).

Adhi menekankan bahwa depresi merupakan penyakit kronis yang bisa kambuh dan membutuhkan pengobatan jangka panjang. Ia biasanya menganjurkan pengobatan selama 3 hingga 6 bulan, karena depresi bisa datang kembali sewaktu-waktu, seperti penyakit lainnya, hipertensi atau diabetes.

Baca Juga: Stres di Tempat Kerja Ancam Produktivitas dan Kesehatan Mental Karyawan, Waspada Ya!

Dokter yang juga seorang dosen di Universitas Indonesia itu menjelaskan bahwa ada tiga gejala utama depresi atau trias depresi, yakni hilangnya minat dan kesenangan dalam hidup, rasa lelah berkepanjangan baik secara fisik maupun mental, serta perasaan sedih atau hampa yang berlangsung lebih dari dua minggu.

“Kalau tiga hal ini terjadi lebih dari dua minggu, bisa dipastikan itu depresi,” katanya.

Namun, stigma masih menjadi tantangan besar. Banyak penderita tidak mau berobat karena takut dicap lemah, gila, atau kurang beriman. Padahal, berdasarkan data Riskesdas 2018, sekitar 6 persen penduduk Indonesia di atas 15 tahun sudah mengalami depresi.

Baca Juga: Tekanan Finansial Jadi Pemicu Ledakan Kasus Depresi di Indonesia

“Masalahnya bukan tidak ada yang depresi, tapi hanya sedikit yang mau atau berani berobat,” tambahnya.

Adhi juga menekankan pentingnya keterlibatan keluarga dan lingkungan sosial dalam mendeteksi serta mendampingi penderita depresi. Pasalnya, kadang orang terdekat yang harus peka. "Teman kita, saudara, pasangan, atau bahkan rekan kerja bisa jadi sedang depresi tapi diam-diam menyembunyikannya," imbuhnya.

Dengan tren depresi yang terus meningkat dan prediksi WHO bahwa gangguan ini akan menjadi penyakit nomor satu di dunia pada 2030, edukasi publik menjadi kunci utama untuk mencegah lebih banyak kasus berakhir tragis.