Bagi Ir. Ciputra, Founder Ciputra Group, sejarah bukanlah sekadar masa lalu yang lewat begitu saja. Baginya, sejarah adalah energi yang terus menghidupi langkahnya ke depan.

“Saya tak pernah melupakan sejarah. Bahkan saya mungkin adalah perawat sejarah. Ya, langkah-langkah saya sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang terjadi di masa lalu,” papar Ciputra, dalam buku biografinya yang bertajuk The Passion of My Life karya Alberthiene Endah, sebagaimana dikutip Olenka, Kamis (10/7/2025).

Banyak orang mengenal Ciputra sebagai seorang visioner, pemimpi besar yang berani mencanangkan niat dan rencana di luar logika banyak orang. Namun, di balik visi besarnya, ia selalu menoleh pada masa lalu yang membentuknya.

“Orang-orang mengatakan saya seorang visioner. Pikiran saya terbang melesat jauh ke depan. Saya adalah pemimpi yang berani mencanangkan niat yang tak terpikirkan orang lain. Akan tetapi tidak banyak yang tahu bahwa sesungguhnya di balik rencana-rencana gila saya, ada sebuah sejarah yang terus terpampang di benak,” jelas Ciputra.

Bagi dirinya, kenangan masa lalu bukanlah trauma yang mengekang, melainkan bara yang membakar semangatnya untuk terus maju. Menurutnya, jika banyak orang terpuruk karena trauma masa lalu, maka ia akan sebaliknya.

“Saya justru dibakar semangat jika ingat hal-hal pahit di masa yang telah lewat,” tukasnya.

Ia mengatakan, salah satu sejarah hidup yang paling berkesan baginya adalah masa kuliah di ITB. Hidup sebagai mahasiswa ‘kere’ tak memadamkan impiannya sedikit pun. Bersama dua sahabatnya, Ismail Sofyan dan Budi Brasali, ia menyalakan mimpi-mimpi besar tanpa peduli kemiskinan yang membatasi langkah mereka.

“Persahabatan saya yang sangat manis dengan Ismail Sofyan dan Budi Brasali. Bagaimana kami bertiga tidak peduli pada kemiskinan dan terus mengobarkan Impian,” tutur Ciputra.

Dari mimpi bersama itulah lahir CV Daya Tjipta, cikal bakal perusahaan besar PT Perencana Jaya. Persahabatan mereka bukan sekadar pertemanan, melainkan pondasi untuk menumbuhkan kepercayaan dan keberanian mengeksekusi mimpi besar. Bahkan saat Ciputra dipercaya memimpin Jaya dan menahkodai proyek raksasa seperti Senen dan Ancol, ia tak pernah lupa pada kedua sahabatnya.

“Saya tidak pernah meremehkan makna persahabatan kami. Bersama Sofyan dan Brasali, mimpi saya dipupuk dan diasah,” tegasnya.

Ciputra berjuang agar Sofyan dan Brasali juga memiliki saham di Jaya. Namun ketika usahanya ditolak internal perusahaan, ia pun membagi saham 3%-nya menjadi tiga bagian, agar mereka tetap berjalan bersama. Baginya, kedua sahabatnya itu adalah pemimpi sekaligus pekerja keras yang tak kalah gigih.

“Mereka adalah orang-orang penuh passion yang bercita-cita besar. Sama seperti saya. Maka di saat saya begitu sibuk dengan proyek-proyek Jaya yang menantang, batin saya sedih memikirkan Sofyan dan Brasali,” terangnya.

Seandainya mereka juga berhadapan dengan proyek menantang, bukan main bahagianya saya. Mereka akan mengerahkan habis-habisan daya mereka. Kami sama-sama pemimpi dan pekerja keras,” sambung Ciputra.

Baca Juga: Kisah Ciputra Membangun Kota Satelit Pertama Indonesia: Mimpi Siang Bolong yang Menjadi Nyata

Saat Kesetiaan pada Sahabat Melahirkan Perusahaan Besar

Pada tahun 1970, Ciputra mengambil langkah besar dalam hidupnya. Sebuah langkah yang lahir bukan hanya dari keberanian, tetapi juga dari rasa setia kepada sahabat-sahabatnya.

“Kita mendirikan perusahaan saja yuk. Jangan berhenti hanya karena Jaya tidak bisa menerima kita bertiga,” ujarnya kepada dua sahabatnya, Ismail Sofyan dan Budi Brasali kala itu,

Ide itu disambut gembira. Bagaimana tidak, selama ini mereka sudah menapaki jalan bersama, menumbuhkan mimpi di tanah yang sama. Ciputra mengusulkan pendirian perusahaan baru setelah berkonsultasi dengan jajaran direksi PT Pembangunan Jaya dan juga Soemarno, pendiri Jaya sekaligus mantan Gubernur DKI Jakarta.

“Ia sangat paham keinginan saya dan tahu bahwa energi saya terlalu besar jika hanya diwadahi oleh Jaya,” kenang Ciputra.

DI situ, maka lahirlah Metropolitan Development, perusahaan yang menjadi wadah baru bagi mimpi-mimpi besarnya. Selain Ciputra, Sofyan, dan Brasali, mereka juga mengajak dua kawan lainnya, yakni Budiman Kusika dan Subagdja Prawata, seorang perwira Angkatan Darat yang dikenal melalui Budiman.

Beberapa tahun kemudian, Ciputra juga mengikutsertakan dua orang kepercayaannya sejak di Jaya berdiri, yaitu Hiskak Secakusuma dan Soekrisman. Keduanya menyatakan kesanggupan dengan penuh keyakinan.

Bagi Ciputra, mendirikan Metropolitan bukan hanya soal bisnis baru, tetapi tentang menemukan kebebasan sejati untuk berkreasi.

“Bagaimana saya membedakan arah konsep Jaya dan Metropolitan? Pada dasarnya sama. Karena tantangan bertebaran di mana-mana. Kami tinggal memilih mau menggarap lahan mana, selama ada tenaga dan modal. Yang membedakan adalah di Metropolitan kebebasan saya begitu penuh,” ungkapnya.

Di Jaya, ia harus berhadapan dengan birokrasi dan keharusan melapor kepada Pemda DKI Jakarta. Namun di Metropolitan, ia merasa leluasa mengekspresikan jiwa wirausahanya.

“Tak perlu melapor-lapor pada Pemda DKI Jakarta, tak perlu terhambat birokrasi, dan tak harus merasa dibingkai oleh banyak aturan. Jangan lupa, entrepreneurship juga membutuhkan kemerdekaan. Di Metropolitan, jiwa saya menemukan lautannya,” bebernya.

Baca Juga: Kisah di Balik Kesuksesan Ciputra Membangun Dufan: Impian Besar, Trauma Masa Kecil, dan Cinta untuk Keluarga