Mungkin banyak orang di luar sana berlomba-lomba untuk keluar dari zona nyaman agar bisa tumbuh dan berkembang. Sehingga, berada di zona nyaman seringkali disalah artikan sebagai batasan dalam mencapai potensi diri. Namun, bukannya menjadi hak bagi setiap individu, memiliki zona nyaman ketika mental merasa mulai terganggu?

Kesehatan mental menjadi salah satu isu global dan menjadi perhatian hingga saat ini. Merujuk pada data World Health Organization (WHO), sekitar 6% populasi di Indonesia mengalami depresi. Jumlah ini meningkat drastis, terutama setelah pandemi. Bahkan, data global WHO menunjukkan ada 264 juta orang yang mengalami gangguan kecemasan (anxiety) dan depresi.

Tuntutan hidup yang terus meningkat, ditambah tekanan pekerjaan, persaingan yang ketat, dan fenomena hustle culture membuat banyak orang terjebak dalam siklus kelelahan mental. Seolah-olah, semakin sibuk seseorang, semakin keren dirinya terlihat. Padahal, pola pikir seperti ini justru rentan memicu stres berkepanjangan hingga burnout.

Psikolog klinis Tara de Thouars mengungkap, dalam sebuah survei ditemukan bahwa stres dan burnout sering muncul saat berada di kondisi yang tidak nyaman. Akibatnya, banyak orang merasa bersalah saat ingin beristirahat atau sekadar diam di zona nyaman. Seakan-akan jika berada di zona tersebut, menganggap diri malas dan tak akan berkembang.

“Makanya, kita perlu meluruskan dulu pemahaman ini. Istilah “kalau berada di zona nyaman, kita nggak bisa berkembang” perlu dilihat lebih dalam. Kita juga perlu membedakan antara zona nyaman dan zona aman,” ujar Tara de Thouras dalam panel diskusi "In My Comfort Zone, Why Not? Embrace Your Comfort, Empower Your Life" yang berlangsung di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Kamis (22/5/2025).

Baca Juga: Salonpas Patchtastic Day 2025 Hadir di 4 Kota, Dorong Kesehatan Mental dan Fisik Seimbang

Lanjut Tara memaparkan, ketika seseorang memilih untuk stagnan dan tidak berkembang, itulah yang disebut berada di zona aman. Sementara zona nyaman justru merujuk pada kondisi ketika diri merasa tenang, stabil, dan aman — suatu keadaan yang justru bisa menjadi fondasi kuat untuk tumbuh dan berkembang.

“Bahkan, menurut jurnal dari Aspen University, istirahat dan rasa nyaman bisa membuat kita lebih produktif, inovatif, dan menjaga kesehatan mental. American Psychological Association juga menyebut bahwa 56% orang yang cukup istirahat justru merasa jauh lebih produktif,” jelas Tara.

Namun sebaliknya, jika terus memaksa diri untuk berkembang tanpa henti, tekanan tinggi bisa menimbulkan stres. Jurnal Personality and Social Psychology menyebutkan bahwa stres yang tinggi berdampak buruk pada kesehatan. Seperti gangguan tidur, kecemasan berlebihan, burnout, bahkan menurunnya imunitas.

“Jadi, penting untuk menyeimbangkan diri. Tumbuh bukan berarti harus menyiksa diri. Ada saatnya kita mendorong diri untuk maju, tapi ada kalanya kita juga perlu berhenti dan beristirahat. Kalau kita bisa menjaga keseimbangan ini, kita akan lebih sejahtera, produktif, dan bisa berkembang secara berkelanjutan,” tutur Tara.

Baca Juga: Bosan, Pekerjaan Terlalu Monoton? Waspadai Sindrom Boreout dan Dampaknya bagi Kesehatan Mental

“Kita sendiri yang paling tahu kapan harus keluar sebentar dari zona nyaman, lalu kembali untuk mengisi energi. Zona nyaman itu penting bukan untuk terus menetap, tapi sebagai tempat mengisi ulang energi sebelum melangkah lagi,” tambahnya.

Lantas, bagaimana agar tidak terlena dalam zona nyaman?

Agar tidak terlena dalam zona nyaman, menurut Tara, hal pertama yang dapat dilakukan adalah belajar mendengarkan diri sendiri. 

Sering kali, saat berada dalam kondisi yang tenang dan stabil, muncul keinginan-keinginan tulus dari dalam diri entah ingin mencoba hal baru, mengejar peluang, atau melakukan sesuatu yang selama ini hanya ada dalam angan. Namun sayangnya, keinginan tersebut kerap dibungkam oleh suara ketakutan akan gagal. Walhasil, seringkali mengabaikan keinginan lantaran terlalu banyak takut. 

Baca Juga: 7 Cara Menjaga Kesehatan Mental Agar Tetap Stabil dan Lebih Tangguh

“Padahal, sebenarnya kita tahu apa yang kita mau. Justru sering kali, saat kita berada dalam kondisi nyaman, keinginan-keinginan itu mulai bermunculan. Nah, di situlah momen pentingnya saat kita sadar "Ini yang saya mau," maka itu yang harus dikejar,” jelas Tara saat ditemui awak media.

“Intinya, dengarkan apa yang benar-benar kita inginkan, bukan apa yang kita takuti,” tukasya.