Standard Chartered memperkirakan pertumbuhan PDB global sebesar 3,1% di tahun 2024 dan 3,2% di tahun 2025, menyusul pertumbuhan PDB global sebesar 3,2% pada tahun 2023. Perkiraan ini turut mempertimbangkan faktor inflasi yang melambat serta penurunan suku bunga. Namun demikian, sejumlah faktor geopolitik yang negatif–seperti memperburuknya hubungan perdagangan antara Amerika Serikat dan China, atau meluasnya konflik Timur Tengah yang turut menekan harga minyak–juga dapat turut memengaruhi skenario tersebut.
Ini adalah poin-poin yang disampaikan dalam laporan Global Focus–Economic Outlook Q3 2024 dari Standard Chartered yang dipresentasikan pada acara tahunan Global Research Briefing (GRB) H2 2024. Turut hadir mewakili Standard Chartered dalam penyampaian proyeksi ekonomi global dan domestik adalah Edward Lee, Chief Economist and Head of FX, ASEAN & South Asia, Standard Chartered, dan Aldian Taloputra, Senior Economist, Standard Chartered Indonesia.
Baca Juga: Transformasi Ekonomi Digital Perlu Dukungan Investasi dan Pembangunan Infrastruktur
Edward menjelaskan bahwa kemungkinan terjadinya ketegangan perdagangan pascapemilu di Amerika Serikat di bulan November mendatang, akan berdampak langsung terhadap perekonomian China, di mana permintaan eksternal telah mengimbangi koreksi pasar properti yang sedang berlangsung dan lemahnya sentimen domestik tahun ini. Hal ini juga dapat membebani prospek perekonomian ASEAN yang sangat bergantung pada China sebagai mitra dagang.
Bagi negara lain, meningkatnya ketegangan AS-China justru dapat menciptakan peluang baru. Sebagai contoh, Jepang dan Korea berkemungkinan mendapatkan manfaat jangka panjang dari upaya AS untuk mengeluarkan China dari rantai pasokan teknologi informasi mereka. Namun, tarif universal terhadap impor Amerika Serikat-yang telah dijanjikan oleh Donald Trump jika dirinya terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat–akan berdampak buruk pada semua perekonomian yang bergantung pada perdagangan Amerika Serikat. Dalam skenario seperti ini, pasar keuangan kemungkinan akan bereaksi negatif terhadap dampak hal tersebut pada inflasi dan pertumbuhan global.
Di Asia di luar China, pelonggaran moneter di negara-negara maju akan membantu mendukung sentimen investor secara luas. Mengingat perlambatan inflasi baru-baru ini, tingkat kebijakan riil telah meningkat. Standard Chartered memperkirakan beberapa negara Asia akan memulai siklus pelonggaran moneter dalam beberapa bulan mendatang, dimulai dengan Filipina pada bulan Agustus 2024.
Reserve Bank of India diprediksi baru akan menurunkan suku bunga pada bulan Oktober dan Desember, mengingat penekanan dari gubernur bank sentral di India akan perlunya inflasi yang berkelanjutan di tingkat 4,0% sebelum pelonggaran dapat dimulai. Di Indonesia, kekhawatiran fiskal, permintaan konsumen yang masih kuat, dan tekanan yang baru-baru ini terjadi terhadap IDR kemungkinan akan menunda dimulainya siklus penurunan suku bunga hingga kuartal keempat tahun 2024. Meskipun terjadi kenaikan suku bunga yang mengejutkan di akhir bulan April lalu, Standard Chartered melihat Bank Indonesia hanya menurunkan suku bunga sebesar 25bps pada paruh kedua tahun 2024, diikuti dengan siklus pelonggaran moneter bertahap di tahun 2025 dan 2026.
Terkait pertumbuhan PDB di Indonesia, Aldian Taloputra, Senior Economist, Standard Chartered Indonesia, menjelaskan, "Standard Chartered mengharapkan pertumbuhan PDB yang stabil sebesar 5,1% pada tahun 2024. Ekspansi fiskal yang kuat, pembelanjaan terkait pemilu, dan investasi kemungkinan besar akan menjaga pertumbuhan PDB di atas 5,0% tahun ini. Kami melihat bahwa momentum akan sedikit berkurang di semester kedua tahun ini karena adanya rebound pada daya beli konsumen dan memudarnya dampak belanja pemilu."
"Konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 4,9% secara year on year pada kuartal pertama, atau masih di bawah rata-rata periode sebelum Covid, yakni sebesar 5%. Kami berpendapat bahwa lambatnya penciptaan lapangan kerja di sektor formal dapat mengurangi peningkatan konsumsi pada semester kedua," jelas Aldian.
Baca Juga: Menko Airlangga Yakinkan Investor Terkait Ketahanan Perekonomian Nasional
Dia menambahkan, "Perluasan industri yang memberikan nilai tambah dan lapangan kerja di sektor formal, serta penurunan inflasi pangan mungkin diperlukan untuk meningkatkan daya beli konsumen, terutama bagi rumah tangga berpendapatan rendah hingga menengah. Sektor pengolahan mineral dengan intensitas permodalan yang tinggi saat ini masih merupakan target utama penanaman modal asing. Permintaan eksternal dapat dipertahankan di tengah membaiknya ekspor logam dan kuatnya permintaan komoditas utama Indonesia, termasuk batu bara, minyak sawit, serta minyak dan gas."
Aldian juga berpendapat bahwa World Bank akan mempertahankan perkiraan inflasi rata-rata tahun 2024 sebesar 2,9% secara year on year meskipun IDR melemah (inflasi rata-rata adalah 2,8% year on year di semester pertama). Meredanya inflasi pangan (karena membaiknya kondisi cuaca) dan stabilnya harga energi bersubsidi akan mengimbangi kenaikan inflasi inti.
Standard Chartered memperkirakan inflasi inti akan naik kembali di atas 2% pada paruh kedua, didorong oleh harga impor yang lebih tinggi dan permintaan domestik yang masih sehat. Depresiasi rupiah kemungkinan akan mendorong kenaikan harga impor seperti bahan bakar, makanan, dan bahan mentah. Namun, kebijakan pemerintah untuk menjaga harga bahan bakar bersubsidi tidak berubah dan menjaga pasokan pangan yang memadai akan membatasi pengaruh harga domestik.