Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan kesiapan penerapan bahan bakar nabati Biodiesel 50 (B50) pada awal tahun 2026. Langkah ini merupakan kelanjutan dari implementasi B40 yang telah mulai diberlakukan sejak awal 2025.
Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, menyatakan bahwa evaluasi atas pelaksanaan B40 menunjukkan hasil positif, baik dari segi sektor Public Service Obligation (PSO) maupun non-PSO. Hal ini membuka jalan bagi Indonesia untuk meningkatkan campuran biodiesel ke level B50.
“Untuk ketersediaan FAME (Fatty Acid Methyl Ester), kita sudah siap masuk ke B50 tahun depan. Mudah-mudahan awal 2026 sudah bisa ditetapkan,” ujar Yuliot dalam keterangan yang diterima pada Sabtu (17/05/2025).
Baca Juga: Dukung B50, Gapki: Harus Diimbangi dengan Peningkatan Produksi Sawit Nasional
Menurut Yuliot, industri biodiesel dalam negeri, khususnya produsen FAME yang berasal dari minyak nabati seperti sawit, dinilai telah siap menyuplai kebutuhan B50. Ketersediaan bahan baku utama seperti Crude Palm Oil (CPO) juga dipastikan cukup untuk memenuhi rantai pasok nasional dalam rangka mendorong hilirisasi industri energi terbarukan.
Tak hanya itu, Yuliot mengungkapkan bahwa industri FAME juga tengah melakukan ekspansi investasi dan penguatan pasokan bahan baku. Penambahan ini tidak akan berdampak signifikan terhadap penggunaan lahan baru, karena didukung oleh program penanaman kembali atau replanting yang tengah dijalankan pemerintah.
Baca Juga: Rencana Program B50 Prabowo-Gibran, Penuh Tantangan atau Potensi Keberhasilan?
“Dengan program replanting yang dilakukan, kebutuhan lahan tambahan untuk bahan baku juga tidak akan terlalu besar,” tuturnya.
Pemerintah berharap bahwa penerapan B50 akan memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus mempercepat transisi menuju energi bersih dan berkelanjutan. Program ini juga sejalan dengan upaya pengurangan emisi karbon dan peningkatan nilai tambah dari sektor perkebunan kelapa sawit Indonesia.