2. Sistem Coretax Bermasalah
Salah satu faktor yang memicu penurunan penerimaan pajak ialah implementasi sistem Coretax yang bermasalah sejak diterapkan pada 1 Januari 2025. Coretax merupakan sistem teknologi informasi terbaru yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan.
Coretax sejatinya dibuat sebagai upaya memodernisasi layanan administrasi perpajakan di Indonesia. Namun, sistem Coretax dinilai belum siap sehingga bermasalah dan alih-alih memudahkan, justru menyulitkan.
Sejak awal penggunaan, sistem ini sudah menimbulkan kendala, seperti pembuatan akun tidak berjalan lancar, dan tak sedikit pula wajib pajak yang melaporkan kesulitan mengakses sistem, data yang tidak cocok, hingga seringnya error saat proses pelaporan pajak.
Hal ini banyak dikeluhkan oleh pengguna, terutama pelaku usaha. Banyak wajib pajak mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban mereka, terutama dalam pembayaran dan pelaporan PPN serta PPh.
Selain itu, penerapan mekanisme Tax Excess Refund (TER) yang diberlakukan sejak 2024 juga berkontribusi pada penurunan penerimaan pajak. Mekanisme ini mengharuskan pemerintah mengembalikan selisih kelebihan pembayaran pajak kepada wajib pajak karyawan, sehingga turut memengaruhi total penerimaan negara.
Baca Juga: Mantan Dirjen Pajak Era SBY Sebut Indonesia Bisa Bebas dari Utang, Ini Syaratnya
3. Potensi Kehilangan Pendapatan Pajak Menurut Bank Dunia
Dalam laporan bertajuk Economic Policy: Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia yang dirilis pada 2 Maret 2025, Bank Dunia turut menganalisis data perpajakan Indonesia periode 2016-2021.
Bank Dunia menyoroti lemahnya kinerja Indonesia dalam mengumpulkan penerimaan pajak. Bahkan, Indonesia disebut berpotensi kehilangan pendapatan hingga Rp546 triliun per tahun akibat ketidakpatuhan pajak.
Potensi kehilangan tersebut berasal dari dua sektor utama. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menyumbang angka tertinggi, mencapai Rp386 triliun, sementara Pajak Penghasilan (PPh) Badan diperkirakan hilang sebesar Rp160 triliun per tahun.
Bank Dunia menilai bahwa pemerintah Indonesia kurang efisien dalam pemungutan pajak, terutama karena rasio penerimaan PPN dan PPh Badan yang rendah dibandingkan negara lain di kelas yang sama.
Selain itu,Bank Dunia juga menyebut kinerja penerimaan pajak dan tax ratio Indonesia sangat buruk dan salah satu terendah di dunia. Pada 2021, angkanya hanya 9,1 persen, jauh tertinggal dari negara-negara berpenghasilan menengah lainnya. Kondisi ini menjadikan kinerja pajak Indonesia salah satu yang terburuk di dunia.