Bank Danamon Indonesia optimis pertumbuhan ekonomi domestik pada tahun 2026 akan mencapai level di atas 5%. Proyeksi ini disampaikan dalam acara Journalist Class tentang Outlook Ekonomi 2026 yang diselenggarakan oleh Bank Danamon.
Ekonom Bank Danamon, Hosyiana Situmorang, mengungkapkan bahwa optimisme ini didukung oleh berbagai instrumen kebijakan moneter dan fiskal pemerintah, termasuk potensi penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI). Menurut proyeksi Bank Danamon, Produk Domestik Bruto (PDB) riil Indonesia diperkirakan tumbuh sebesar 5,04% pada 2026.
Baca Juga: Danamon Terus Tingkatkan Kewaspadaan Masyarakat Lewat Kampanye #JanganKasihCelah
Baca Juga: Danamon Resmi Jabat Perusahaan Induk Konglomerasi Keuangan Operasional MUFG di Indonesia
Meskipun prospek PDB positif, dinamika pasar keuangan global dan domestik tetap menjadi sorotan, terutama terkait stabilitas nilai tukar Rupiah. Rupiah terus mengalami pelemahan terhadap dolar AS dan mata uang utama lainnya. Proyeksi nilai tukar USD/IDR pada 2026 berada di kisaran Rp16.500 hingga Rp16.700. Pelemahan ini menurut Danamon disebabkan oleh arus dana asing (foreign flow) yang keluar (outflow), terutama didorong oleh jatuh tempo Surat Berharga Bank Indonesia (SRBI) yang dimiliki investor asing.
Hosyiana Situmorang menjelaskan, "Investor asing memiliki obligasi, termasuk SRBI, yang kepemilikan asingnya hampir 14%, jauh di atas kepemilikan asing atas obligasi lain. Kepemilikan asing di SRBI mencapai hampir Rp300 triliun sepanjang 2025. Ini menjadi salah satu faktor tekanan pada Rupiah karena aliran dana keluar dari investor asing, dipengaruhi oleh jatuh tempo SRBI. Saat ini untuk menarik kembali dana asing dan menstabilkan Rupiah, Bank Indonesia menunjukkan indikasi menaikkan imbal hasil SRBI lelang ke level September, sekitar 4,8% untuk tenor satu tahun."
Prospek Suku Bunga dan Pertumbuhan Kredit
Bank Danamon melihat adanya ruang bagi BI untuk memangkas suku bunga acuan. Suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate diproyeksikan turun dari 4,75% (posisi saat ini) menjadi 4,50% pada akhir 2025, dan berpotensi mencapai 4,25% pada 2026. Pemangkasan ini didorong oleh harapan stabilitas Rupiah dan masuknya kembali modal asing. Namun, transmisi kebijakan moneter masih berjalan lambat.
Meskipun BI sudah memangkas suku bunga sebesar 125 basis poin (bps) sepanjang 2025, suku bunga kredit hanya turun 20 bps menjadi 9,00%. Suku bunga deposito juga turun 56 bps menjadi 4,25% per Oktober 2025, dipengaruhi oleh penawaran suku bunga khusus untuk deposan besar. Bank Danamon optimis pertumbuhan kredit pada 2026 dapat mencapai 9–12%, sesuai target BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dukungan Fiskal dan Sektor Unggulan
Untuk mendorong pertumbuhan dan daya beli masyarakat, pemerintah telah melaksanakan berbagai stimulus fiskal. Salah satunya adalah penempatan dana kas fiskal sebesar Rp276 triliun ke bank-bank komersial dari total kas pemerintah Rp425 triliun. Ini bertujuan memperbaiki likuiditas sistem perbankan dan mendorong pertumbuhan kredit.
Hosyiana Situmorang menyoroti, "Dana kas pemerintah ini langsung inject ke sistem keuangan. Namun, dana tersebut tidak boleh tertumpuk di pemerintah atau di BI, melainkan harus beredar ke masyarakat."
Sektor-sektor dengan potensi pertumbuhan dan menjadi pendorong ekonomi masa depan, didukung stimulus fiskal, antara lain transportasi, F&B (makanan dan minuman), ICT (teknologi informasi dan komunikasi), dan jasa bisnis. Berdasarkan Indeks PMI Manufaktur, sektor logam dasar dan produk mineral menunjukkan ekspansi dari kuartal I hingga III. Sektor properti juga berpotensi pulih seiring penurunan suku bunga KPR.
Meski stimulus ada, keyakinan konsumen dan pendapatan rumah tangga masih menjadi tantangan. Indeks Keyakinan Konsumen (CCI) per Oktober 2025 hanya naik tipis, sementara pendapatan rumah tangga masih tertekan akibat meningkatnya pekerja serabutan. Penjualan ritel tumbuh 4,3% YoY per Oktober 2025, didorong suku cadang kendaraan, makanan/minuman, dan rokok, bukan mobil baru.
Risiko utama tahun 2026 datang dari faktor global, terutama kebijakan suku bunga The Fed (AS). Jika The Fed tidak memangkas suku bunga sesuai ekspektasi, BI akan menghadapi lebih banyak tantangan untuk melanjutkan pelonggaran moneter.
Upaya pemerintah menyuntikkan likuiditas ke sistem keuangan agar beredar ke masyarakat dapat dianalogikan seperti memompakan darah ke sistem peredaran yang tersumbat; butuh waktu agar dana tersebut sampai ke seluruh sektor ekonomi dan menjalankan fungsi optimal, khususnya dalam memperbaiki daya beli dan permintaan kredit.