Selama bertahun-tahun, muncul persepsi di masyarakat yang menyamakan kental manis dengan susu. Kepercayaan tersebut memberi dampak buruk pada kesehatan anak-anak karena kandungan gula yang tinggi pada kental manis berbeda dengan kandungan susu yang seharusnya rendah gula.

Bersama dengan sejumlah universitas di Indonesia, Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) memaparkan hasil penelitian mereka di tiga kawasan berbeda, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DIY. Hasil penelitian tersebut disebarluaskan kepada masyarakat luas lewat buku berjudul Generasi Manis, Masa Depan Pahit.

Baca Juga: Ahli Gastroenterologi Harvard Ungkap 6 Biji-bijian Terbaik untuk Berbagai Masalah Kesehatan

“Kami melihat isu ini sebagai isu yang jarang dibahas. Padahal, dampak yang dihasilkan cukup serius bagi perkembangan balita. Bekerja sama dengan berbagai pihak, YAICI telah melakukan riset mengenai dampak kental mental yang diasosiasikan sebagai susu sejak tahun 2018,” jelas Satria Yudistira, Sekjen YAICI, dalam diskusi daring yang diikuti dari Jakarta, Rabu (26/11/2025).

Dalam riset yang dilakukan di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor oleh Universitas Muhammadiyah Jakarta menunjukkan bahwa sebanyak 95% anak yang menjadi responden mulai mengonsumsi kental manis sejak usia 8 bulan ke atas. Sementara itu, 64% ibu percaya bawah kental manis adalah susu.

Selain itu, sebanyak 83% ibu melaporkan dampak negatif konsumsi kental manis dalam jangka pendek berupa karies gigi (60%), diare (44%), dan gatal-gatal kulit 10%. Temuan itu sejalan dengan hasil riset yang dilakukan oleh Universitas Negeri Semarang (UNNES) di Puskesmas Sekaran dan Bandarhajo, Kota Semarang yang mencatat dampak konsumsi kental manis pada balita sebagai berikut:

  • 34% balita alami karies gigi;
  • 21% balita alami diare;
  • 14% balita alami gigi berlubang.

Penelitian di Semarang mencatat bahwa sebanyak 10,77% balita mengonsumsi kental manis atau krimer kental manis sebagai MP-ASI. Tidak hanya itu, sebanyak 51% ibu responden memahami bahwa susu kental manis merupakan minuman bergula yang ditambahkan susu, tetapi tetap diberikan ke balita.

Pentingnya Dukungan Semua Pihak

Masih tingginya pemahaman masyarakat yang menganggap kental manis sebagai susu merupakan tantangan besar yang harus diselesaikan. Sebagaimana riset yang dilakukan Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta di Kulon Progo, DIY, sebanyak 65,22% responden masih menyebut kental manis sebagai susu. Senada, riset Universitas Muhammadiyah Jakarta di Bogor, Jawa Barat juga menunjukkan jika 64% ibu percaya bawah kental manis adalah susu.

Sebagai upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dan menjaga pertumbuhan anak muda Indonesia, dibutuhkan kolaborasi berbagai pihak untuk mengatasi masalah ini. Setidaknya, kini telah mulai muncul kesadaran untuk menghilangkan kata susu di packaging kental manis. Namun, mengubah pemahaman dan kebiasaan masyarakat tidaklah mudah.

“Semua pihak punya porsinya masing-masing. Dari sisi kebijakan, tentu yang paling bertanggung jawab adalah pemerintah karena porsinya pengambil kebijakan. Dari aspek pembuktian, evidence-based by research, tentu akademisi karena porsinya sebagai peneliti. Untuk LSM, seperti YAICI, paling bertanggung jawab untuk menggerakkan media sosia,” jelas Prof. Dr. Tria Astika, S.KM., MKM dari Universitas Muhammadiyah Jakarta.

“Dengan kapasitasnya masing-masing, semua pihak bisa berperan,” tegas Dr. Mardiana, S.KM., M.Si dari Universitas Negeri Semarang (UNNES).