Pendapatan kereta cepat (Whoosh) Jakarta-Bandung dinilai tidak sepadan dengan utang pembangunannya yang terus melambung. Dengan perkiraan nilai investasi sebesar US$6,071 miliar di tahun 2016, pembangunan Whoosh menelan biaya mencapai US$7,27 miliar akibat cost overrun serta pandemi Covid-19 yang memperlambat pengerjaan dengan proporsi peminjaman 75% dari China Development Bank (CDB).
Direktur Program INDEF, Eisha M. Rachbini, menjelaskan bahwa infrastruktur transportasi harusnya dibangun untuk mendorong transaksi perekonomian nasional. Sayangnya, kinerja Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) yang melayani rute Jakarta-Bandung dinilai tidak memuaskan. Setidaknya, ada gap 40% okupansi kereta cepat yang masih harus ditingkatkan.
Baca Juga: KPK Siap Turun Gunung Telusuri Proyek Kereta Whoosh
“Seharusnya, penerimaan harus lebih tinggi sehingga bisa membayar utang. Ketika pengelolaannya gagal, hitungan yang seharusnya bisa ditanggung oleh business to business (B to B), ujungnya bisa berakibat pada keuangan negara/APBN yang harus menanggung beban utang tersebut,” jelasnya dalam DISKUSI PPPI Universitas Paramadina dan INDEF yang digelar pada Rabu (22/10/2025).
Handi Rizsa Idris, Wakil Rektor Bidang Pengelolaan Sumber Daya Universitas Paramadina, menyayangkan sikap pemerintah yang dinilai tidak melakukan analisis kritis sebelum memutuskan sebuah kebijakan. Padahal, masalah yang menjerat kereta cepat ini sebenarnya bisa diprediksi. Pada 2024, pendapatan KAI sebesar Rp1,5 triliun dan dalam laporan keuangan PSBI (konsorsium Indonesia dalam proyek KCIC), tercatat kerugian Rp4,195 triliun.
“Jarak 150 km Jakarta–Bandung bagi masyarakat masih nyaman menggunakan moda transportasi lain seperti bus atau kereta karena belum menunjukkan tingkat urgensi. Masalah yang menjerat kereta cepat menimbulkan pertanyaan: proyek ini dibuat untuk kepentingan siapa? Apakah benar masyarakat?” singgungnya.
Kegagalan bisnis kereta cepat menjadi gangguan keuangan negara/APBN. Masih belum diputuskan apakah kerugian itu akan ditutup oleh APBN atau skema korporasi dengan Danantara.
“Memang perlu adanya restrukturisasi utang, akusisi aset, dan injeksi modal dari Danantara. Yang paling utama adalah meningkatkan kinerja Whoosh dengan strategi pengembangan usaha dan operasional perpanjangan rute. Kereta cepat harus diintegrasikan dengan jaringan angkutan perkotaan dan logistik untuk memperkuat konektivitas dan daya tarik bagi penumpang,” tegasnya.
Bola Panas Isu Politik
Sementara itu, Muhammad Rosjid Jazuli, Peneliti PPPI, mengatakan bahwa proyek ekonomi di Indonesia lebih sering dibuat berdasarkan faktor politik, bukan ekonomi. Begitu pula sebaliknya, respons masalah ekonomi lebih sering mengedepankan unsur politik, tidak langsung ke akar masalahnya.
“Kasus KCIC ditinjau dari sudut anggaran sebenarnya bukanlah isu utama dalam ekonomi politik domestik. Utang Whoosh lebih besar dari banyak dana kementerian dan lembaga. Namun, masih jauh di bawah anggaran kementerian-kementerian besar seperti Polri, PUPR, Kementerian Pertahanan, dan Pendidikan yang sampai Rp700 triliun,” jelasnya.
Salah satu ciri khas isu ekonomi-politik, menurutnya, adalah komunikasi publik yang ala kadarnya. Yang jadi masalah, hal itu justru akan memperkeruh keadaan, sama seperti yang terjadi dalam isu Whoosh. Mestinya, komunikasi para pihak terkait fokus dan searah.
“Whoosh adalah mimpi buruk ekonomi politik. Size-nya relatif menengah, tapi akhirnya jadi bola panas politik yang bisa mengganggu legitimasi mandat pemerintah. Pemerintah agaknya tidak konsisten dalam isu KCIC ini dan seperti menganggap ringan masalah tersebut. Hal itu bisa memperburuk kepercayaan publik terhadap pengelolaan Whoosh,” ungkapnya.
Dia pun meminta pemerintah untuk lebih serius dalam merencanakan sebuah kebijakan agar ke depan lebih baik. Jika perlu, perlu adanya pelibatan pihak swasta serta transparansi dan pengawasan terhadap tata kelola proyek.
“Akhirnya harus disadari bahwa Whoosh adalah barang mahal. Dia bukan proyek untuk gagah-gagahan, tapi harus balik modal dan jelas kontribusi ekonominya,” pungkasnya.