Tren penurunan jumlah masyarakat kelas menengah menjadi sorotan beberapa waktu terakhir. Setidaknya, tercatat ada 9,48 juta masyarakat yang semula berada di kelas menengah, kini terpuruk ke kelas ekonomi bawah pada periode 2019 hingga 2024. 

Kondisi menurunnya jumlah ekonomi kelas menengah juga ditandai dengan tergerusnya daya beli masyarakat. Ketika daya beli masyarakat turun, konsumsi domestik sebagai salah satu pilar utama perekonomian juga akan terdampak, yang pada akhirnya berpengaruh pula terhadap penerimaan negara.

Lantas, apa yang menyebabkan tren penurunan daya beli masyarakat ini semakin menguat? Berikut Olenka sajikan sejumlah informasi terkait yang dirangkum dari berbagai sumber, Rabu (4/9/2024).

Sudah Melemah Sejak Akhir 2023

Kini kembali menjadi sorotan, penurunan daya beli masyarakat ternyata sudah melemah sejak akhir 2023 lalu. Menukil dari laman CNBC Indonesia, peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Eliza Mardian mengungkap, penurunan daya beli masyarakat sejak 2023 terlihat dari penurunan inflasi selama tahun tersebut.

Pada Januari 2023, tercatat inflasi inti secara bulanan berada di angka 0,33% dan mengalami penurunan hingga di angka 0,14% pada Desember 2023. 

Baca Juga: Membongkar Biang Kerok yang Bikin Jutaan Warga Kelas Menengah Turun Kasta

Eliza mengungkap, inflasi inti juga sempat mengalami penurunan akibat pandemi COVID-19 di tahun 2020. Kemudian, kembali naik pada 2022 dan awal 2023. Namun, karena adanya kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi pada 2022 menyebabkan inflasi inti menurun di 2023.

Kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi pada 2022 menjadi salah satu faktor penurunan daya beli masyarakat. Eliza juga mengatakan, kebijakan tersebut juga turut meningkatkan harga pangan. Di mana, menyebabkan inflasi bahan pangan naik sejak awal 2024, meski kini sudah mulai  menurun. Namun, kenaikan harga tersebut tak diikuti dengan peningkatan upah bagi pekerja atau kelas menengah.

Apa Penyebab Daya Beli Masyarakat Melemah?

Selain kebijakan kenaikan harga BBM pada 2022 yang berujung pada meningkatnya inflasi bahan pangan, ada sejumlah faktor lain yang disebut-sebut menyebabkan adanya tren melemahnya daya beli masyarakat.

Sebagaimana yang sempat diungkap oleh Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja. Menukil dari pemberitaan CNN Indonesia, Jahja mengungkap setidaknya ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab tergerusnya daya beli masyarakat.

Di antaranya adalah judi online. Banyak masyarakat yang hilang arah berakhir pada judi online. Bukannya untung, malah buntung. Banyak masyarakat yang sudah kehilangan uang akibat judi online. Menurut Jahja, judi online yang bisa menggunakan e-wallet hingga uang tunai tersebut dapat menggerogoti daya beli masyarakat.

Selanjutnya, berkurangnya diskon yang biasanya ditawarkan oleh berbagai platform belanja online dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini dikenal sebagai bagian dari bakar uang yang dilakukan e-commerce agar belanja bergairah..

"Ini masuk dan bakar duit, tahun 2022 dibakar Rp80 triliun yang menikmati middle class, tapi banyak lower class dapat income, ada daya beli subsidi indirectly," ujar Jahja.

Baca Juga: Menilik Rencana Pembatasan Pembelian BBM Bersubsidi, Dimulai 1 Oktober 2024 Mendatang?

Namun, ketika diskon yang biasanya ditawarkan itu sudah tidak ada lagi, mau tidak mau masyarakat harus berbelanja online dengan harga normal atau bahkan relatif tinggi. Menurut Jahja, hal tersebut juga dapat menyebabkan daya beli masyarakat ikut menurun.

Terakhir, adalah adanya penurunan jumlah pinjaman online atau pinjol yang sempat merebak ketika pandemi COVID-19. Akibatnya, banyak orang yang terpaksa meminjam uang, bahkan ada yang meminjam dari 20 pinjol sekaligus. Ini terjadi karena mereka meminjam dari satu pinjol untuk membayar hutang di pinjol lain.

Meskipun situasi ini merugikan, hal ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat masih cukup kuat. Namun, setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberantas pinjol ilegal, daya beli masyarakat sedikit menurun.

Selain itu, faktor lain yang dapat menyebabkan penurunan daya beli masyarakat adalah adanya peningkatan pajak, ini dikarenakan pajak dipotong dari penghasilan. 

Penurunan Daya Beli Masyarakat Sebabkan Deflasi 4 Bulan Berturut-turut?

Adanya tren penurunan daya beli masyarakat disebut menjadi biang kerok dari deflasi yang terjadi selama empat bulan berturut-turut, terhitung sejak Mei hingga Agustus 2024. Namun, anggapan tersebut ditepis oleh sejumlah pihak.

Mengutip dari pemberitaan CNBC Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menganggap. deflasi yang terjadi selama kurun waktu empat bulan ini tidak mencerminkan daya beli masyarakat yang tengah tergerus.

Sri Mulyani menjelaskan, ukuran daya beli masyarakat biasanya tercermin dari tekanan yang terus-menerus pada inflasi inti. Di sisi lain, deflasi yang terjadi saat ini lebih disebabkan oleh penurunan tajam pada inflasi bahan pangan yang bergejolak atau volatile food.

Baca Juga: Menilik Tren Investasi Digital yang Semakin Dilirik Masyarakat Tanah Air

Senada dengan Sri Mulyani, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini, turut membantah penyebab deflasi selama empat bulan ini karena adanya penurunan daya beli masyarakat. 

Mengutip dari pemberitaan Kompas, Pudji menjelaskan bahwa deflasi justru terjadi karena pasokan beberapa komoditas yang berlimpah sehingga harga-harga ikut turun. Pasokan melimpah terjadi karena musim panen beberapa komoditas tanaman pangan dan hortikultura, seperti panen tomat di Sorong, Jember, Klaten, Gorontalo, dan Baubau.