Dalam skenario global yang terus berkembang ini, Gen Z (mereka yang lahir antara pertengahan 1990-an dan awal 2010-an) telah muncul sebagai kekuatan yang signifikan.

Dengan jumlah mereka yang ditetapkan mencapai sekitar 27% dari tenaga kerja pada tahun 2025, memahami dan memenuhi kebutuhan mereka telah menjadi fokus penting bagi organisasi dan orang-orang di sekitar.

Meskipun Gen Z membawa gelombang inovasi, kemampuan beradaptasi, dan kefasihan digital yang baru, mereka juga menghadapi tantangan unik, terutama yang berkaitan dengan kesehatan mental.

Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang seberapa baik kita memahami perspektif dan kebutuhan tenaga kerja Gen Z, khususnya dalam hal kesehatan mental dan kesejahteraan hidup?

Dr. Ashwin Naik, selaku Co-Founder & CEO Manah Wellness, mengatakan, menangani masalah mereka tidak hanya penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung, tetapi juga untuk membuka potensi penuh mereka sebagai aset yang tak ternilai bagi.

Dalam artikel ini, ia pun memaparkan tentang pentingnya menangani masalah kesehatan mental di kalangan pekerja Gen Z.

Baca Juga: Benarkah Gen Z Lebih Rentan Alami Gangguan Kesehatan Mental? Ini Kata Psikolog

Pelajari dengan Bijaksana

Generasi Z pada dasarnya ingin tahu, mengajukan banyak pertanyaan, dan terus-menerus berusaha memahami gambaran yang lebih luas tanpa ragu-ragu atau menghakimi.

Mereka mencari lingkungan yang mencerminkan nilai-nilai mereka tentang kebaikan, inklusivitas, dan dukungan. Tidak seperti struktur hierarkis yang dianut oleh generasi sebelumnya, mereka ingin didengar, dihargai, dan diikutsertakan.

Meskipun memiliki potensi yang luar biasa untuk berkontribusi, mereka menghadapi tantangan dalam hal mengelola stres. Mereka jauh kurang siap untuk menghadapi stres dibandingkan dengan pendahulu mereka. Kecemasan di Tempat Kerja Terkait dengan Meningkatnya Masalah Kesehatan di Kalangan Karyawan

Stigma seputar kesehatan mental di tempat kerja

Sebuah studi yang dilakukan oleh Deloitte menyoroti bahwa 40% karyawan Gen Z ini melaporkan merasa stres atau cemas hampir sepanjang waktu, sebuah indikator signifikan dari tekanan mental yang meluas.

Stres ini berasal dari berbagai faktor, termasuk tekanan finansial, kurangnya pengakuan, dan jam kerja yang panjang. Di luar pemicu stres ini, mereka juga vokal tentang pengalaman yang secara langsung merusak kesejahteraan mereka di tempat kerja, seperti manajemen mikro dan kurangnya kepercayaan dari atasan mereka.

Menariknya, ini adalah generasi yang menghargai keaslian, baik dalam kehidupan maupun di tempat kerja. Mereka menampilkan jati diri mereka yang sebenarnya dan mencari lingkungan tempat mereka dapat memberikan dampak yang berarti.

Keinginan untuk memberikan kontribusi yang lebih besar dari diri mereka sendiri lebih kuat pada Gen Z dibandingkan generasi sebelumnya. Akibatnya, mereka menjadi cepat kecewa ketika pekerjaan mereka terasa membosankan atau tidak memiliki tujuan dan mereka mengalami rasa terisolasi yang mendalam.

Keinginan untuk memiliki tujuan dan dampak bukan hanya preferensi bagi generasi ini; itu adalah sebuah kebutuhan. Salah satu ciri khas Gen Z adalah advokasi mereka untuk kesejahteraan dan kesehatan mental.

Baca Juga: Viral di Kalangan Gen Z, Apa Itu Fenomena ‘Jam Koma’?

Tidak seperti generasi yang lebih tua yang mungkin telah memendam stres atau menekan emosi di tempat kerja, Gen Z ingin berbicara jujur ​​dengan atasan mereka tentang perasaan mereka dan mengharapkan perusahaan menyediakan lingkungan yang mendukung di mana kesehatan menjadi prioritas.

Sayangnya, mereka sering menghadapi sikap meremehkan saat mereka terbuka. Alih-alih menerima dukungan, mereka diminta untuk 'mengeraskan diri', diejek atau dipandang tidak kompeten.

Meskipun kesadaran akan masalah kesehatan mental semakin meningkat, sebagian besar karyawan Gen Z, hampir 25%, merasa bahwa tempat kerja tidak mendukung lingkungan tempat mereka dapat membahas masalah kesehatan mental secara terbuka, sehingga menciptakan stigma yang memaksa karyawan untuk menyembunyikan perjuangan mereka yang sebenarnya di balik alasan yang dibuat-buat.

Misalnya, saat mengalami kecemasan atau tekanan emosional, banyak pekerja Gen Z melaporkan harus mengutip penyakit fisik untuk membenarkan pengambilan cuti daripada bersikap jujur ​​tentang kebutuhan kesehatan mental mereka. Kurangnya keamanan psikologis ini semakin diperparah oleh dukungan manajerial yang tidak memadai.

Baca Juga: Gaungkan Isu Kesehatan Mental, Maybelline Dorong Gen Z untuk Jadi Pendengar yang Baik Lewat Kampanye 'Let’s Be Brave Together'

Paradoks menjadi paham teknologi tetapi ragu-ragu

Mereka sering dipuji karena kecakapan teknologi dan keakraban mereka dengan aplikasi kesehatan mental dan alat pendukung. Namun terlepas dari pengetahuan mereka, mereka tetap berhati-hati dalam terlibat dengan organisasi karena takut dinilai sebagai 'orang yang membutuhkan' atau tidak mampu menangani stres.

Ketakutan dianggap lemah atau kurang kompeten oleh rekan kerja atau atasan mereka sering kali menghalangi mereka untuk mencari bantuan yang mereka butuhkan.

Memberdayakan Gen Z untuk memimpin

Ketika Gen Z dibina sebagai agen perubahan, mereka cenderung memperjuangkan inisiatif yang mempromosikan percakapan terbuka, sehingga mengurangi stigma di sekitarnya dan menyediakan sumber daya bagi semua karyawan.

Sebagai generasi pertama penduduk asli digital sejati, mereka mahir menggunakan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan menyederhanakan proses, sehingga memungkinkan pemanfaatan aplikasi dan platform dengan mudah untuk mendukung kesejahteraan karyawan.

Oleh karena itu, dengan memberikan dukungan, pelatihan, dan sumber daya yang tepat, para pemimpin dapat membantu Gen Z berkembang dan mendorong perubahan budaya menuju tempat kerja yang lebih berpusat pada kesejahteraan.

Baca Juga: Tren Lipstick Effect dalam Gaya Konsumsi Gen Z: Utamakan Kemewahan Kecil