Kabar rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen menggema sejak Maret 2024 lalu. Wacana tersebut sontak mendapat perhatian dari masyarakat Tanah Air. Ada pula pemangku kepentingan yang mewanti-wanti hingga menilai kebijakan tersebut mengancam pertumbuhan ekonomi Tanah Air.
Sebelumnya, rencana tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Rencana kenaikan PPN yang semula hanya 11 persen disebut sebagai bagian dari upaya reformasi perpajakan demi penerimaan pajak.
Kepada awak media, Airlangga menekankan bahwa kenaikan tersebut tidak dilakukan semata-mata hanya untuk mengerek PPN. Melainkan, sebagai strategi pemerintah untuk meningkatkan penghasilan negara dari pajak, serta pengendalian rasio utang pemerintah.
“Strategi ke depan adalh bukan kerek PPN, tapi kerek penghasilan pajak," ujar Airlangga di Sekolah Kolese Kanisius, Jakarta, Sabtu (11/5/2024).
Untuk mengoptimalkan rencana ini, pemerintah tengah menggarap Core Tax Administration System (CTAS). Dengan diterapkannya sistem pajak yang canggih, pendapatan negara dari pajak diharapkan dapat lebih optimal.
"Tentu kalau di Dirjen Pajak ada implementasi dari core tax, kita harapkan itu bisa maksimal," tutur Airlangga.
Baca Juga: Menko Airlangga Yakinkan Investor Terkait Ketahanan Perekonomian Nasional
Kapan Rencana Tarif PPN Jadi 12 Persen Mulai Diberlakukan?
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi 12 persen ini direncanakan mulai berlaku selambat-lambatnya pada awal tahun mendatang, 1 Januari 2025.
Ketentuan kenaikan tarif ini sudah tertuang dalam UU No.7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dalam pasal 7, ayat (1), huruf b, disebutkan tarif PPN 12 persen mulai berlaku pada 1 Januari 2025 mendatang.
“Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu.. sebesar 12% [dua belas persen] yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025,” bunyi pasal tersebut.
Lantaran sudah jelas tercantum dalam undang-undang, Menko Airlangga memastikan bahwa kenaikan tarif PPN 12 persen mulai diberlakukan sesuai rencana.
Namun, Airlangga beranggapan bahwa kenaikan tarif PPN bisa saja ditunda apabila pemerintah menerbitkan aturan lain. Namun sejauh ini, belum ada pernyataan resmi mengenai aturan yang dimaksud.
“Kecuali ada hal yang terkait UU, kan tidak ada. Jadi kita monitor aja catatan nota keuangan nanti,” ujar Airlangga di Kementerian Perekonomian sebagaimana dikutip dari laman Infobank, Sabtu (10/8/2024).
Simulasi Penerapan Kenaikan PPN Jadi 12 Persen
Presiden Jokowi dikabarkan sudah membuat simulasi atas penerapan kenaikan PPN menjadi 12 persen jelang diberlakukannya pada awal 2025 mendatang. Pemerintah mulai memperhitungkan potensi hingga dampak jika PPN menjadi 12 persen nantinya telah diberlakukan.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso menjelaskan, simulasi yang dilakukan pemerintah mencakup potensi penerimaan pajak yang diperkirakan bisa bertambah hingga Rp70 triliun.
“Kalau dampak potensinya kan gampang hitungnya. Naik dari 11% ke 12% itu kan berarti naik 1%, 1 per 11 itu kan katakan 10% total PPN kita realisasi setahun Rp730-an triliun. Berarti kan tambahnya sekitar Rp70-an triliun," ujar Susiwijono seperti mengutip dari pemberitaan CNBC Indonesia.
"Hitung dengan dampak ekonominya kira-kira kalau dengan itu bagaimana, nanti kemampuan bisnis serta sektor industri kita dan sebagainya, tinggal disandingkan," tambahnya.
Diungkap Susiwijono, pemerintah juga mempertimbangkan daya beli masyarakat, termasuk hasil dari data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2024 yang sebesar 5,02% dari kuartal I-2024 sebesar 5,11%.
Rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen ini masih dalam pengkajian. Simulasi juga masih terus dilakukan. Ditambah, adanya usulan dari para pengusaha untuk menunda kenaikan PPN, sehingga pemerintah masih harus kembali mengkaji rencana kenaikan tersebut.
Baca Juga: Menko Airlangga Dorong Efisiensi Ongkos Logistik Nasional
Respon Para Pemangku Kepentingan
Meski tarif PPN naik menjadi 12 persen, Kemenko Perekonomian disebut akan tetap memberikan fasilitas PPN kepada sejumlah sektor. Seperti sejumlah bahan pangan pokok rakyat untuk dibebaskan PPN.
Kendati begitu, rencana kebijakan mengenai kenaikan tarif pajak ini mendapat berbagai respon dari para pemangku kepentingan. Mereka mewanti-wanti pemerintah terkait kebijakan tersebut, dan bisa saja menjadi boomerang yang mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Mengutip dari Infobank, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen ini dapat menggerus daya beli konsumen. Pasalnya, bukan hanya kalangan tertentu yang harus membayar PPN menjadi 12 persen, melainkan seluruh lapisan masyarakat. Hal tersebut dinilai dapat memicu rendahnya daya beli masyarakat.
Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti menilai, kondisi daya beli atau konsumsi masyarakat yang rendah itulah akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Mengingat, konsumsi masyarakat sendiri berkontribusi sekira 53 persen dari pertumbuhan ekonomi.
Esther menilai, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen sebaiknya dilakukan saat pertumbuhan ekonomi sedang kuat. Jika tarif pajak dinaikkan ketika ekonomi sedang stagnan, ini bisa berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat.
“Tax revenue itu teorinya kalau pertumbuhan ekonomi tinggi tax revenue tinggi. Ini kalau tarif pajak ditingkatkan, itu melemahkan pertumbuhan ekonomi artinya tax revenue-nya lebih sedikit. Jadi harus tumbuh dulu ekonominya baru tax revenue lebih meningkat,” ujar Esther.
Senada dengan Esther, Ekonom Center of Macroeconomics & Finance Indef Abdul Manap Pulungan juga menilai, rencana kenaikan pajak ini juga bisa berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi.
Kelompok transportasi dan komunikasi, restoran, hingga hotel diprediksi akan menjadi komponen yang paling terdampak dengan adanya kenaikan PPN nantinya. Abdul khawatir, imbas tarif PPN yang naik satu persen membuat masyarakat menahan untuk plesiran.
"Ini khawatirnya ketika PPN itu naik, orang-orang cenderung menahan plesiran, yang pada akhirnya menyebabkan sektor-sektor konsumsi yang bukan kebutuhan pokok itu menurun," ujar Abdul dikutip dari laman Antara.
Baca Juga: Menko Airlangga: Proyek Giant Sea Wall untuk Selamatkan Pantura
Abdul juga menilai, kenaikan tarif PPN ini juga memiliki potensi bisa berdampak terhadap laju inflasi. Meskipun ada beberapa komoditas seperti beras, jagung, dan sagu yang tidak dikenakan PPN, Abdul berpendapat, harga-harga komoditas tersebut belum tentu akan tetap stabil di pasar.
“Penjual itu akan reaktif ketika terjadi kenaikan PPN. Mereka tidak peduli, apakah komoditas yang dinyatakan tidak naik itu justru mereka naik, apalagi di pasar tradisional yang tidak terpantau,” tambahnya.
Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah, turut mewanti-wanti pemerintah untuk berhati-hati dan membuat kajian yang matang atas rencana kebijakan naiknya tarif PPN menjadi 12 persen.
Menukil dari laman resmi DPR RI, meski kenaikan tarif PPN akan memberi dampak baik terhadap pendapatan negara, Said juga menilai bahwa kebijakan tersebut dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional sekira 0,12 persen.
Selain itu, Said juga menilai adanya potensi upah minimal akan anjlok, dan pemerintah akan menghadapi banyak risiko ekonomi di tengah ketidakpastian global.
“Pada tahun 2022 lalu pemerintah telah menaikkan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen. Dalam waktu tak berselang lama, PPN akan dinaikkan lagi, saya kira ini jalan pintas untuk menaikkan perpajakan, tidak kreatif, bahkan akan berdampak luas membebani rakyat,” ujar Said.
Sebab itu, Said menilai pemerintah harus berhati-hati atas rencana kebijakan tersebut.