Nama Marius Widyarto mungkin tak setenar merek yang ia dirikan, C59. Namun, di balik kesuksesan merek kaus lokal legendaris itu, terdapat sosok sederhana namun visioner yang telah membuktikan bahwa ketekunan, inovasi, dan semangat berbagi bisa mengubah usaha rumahan menjadi inspirasi nasional, bahkan hingga ke tanah Papua.
Lahir di Banjarmasin pada 19 Januari 1956, pria yang akrab disapa Wiwied ini memulai perjalanannya dari titik nol. Bersama sang istri, Maria Goretti Murniati, ia mendirikan usaha pembuatan kaus oblong pada 12 Oktober 1980.
Bermodal hasil penjualan kado pernikahan, mereka membeli satu mesin jahit dan dua mesin obras. Usaha tersebut dimulai dari rumah kecil di Jalan Caladi No. 59, Bandung, yang kemudian menjadi inspirasi nama brand, C59.
Baca Juga: Berkenalan dengan Sansa Enandera, ‘Si Bungsu’ Pendiri Jenama Fesyen Muslim Si.Se.Sa
Di awal kemunculannya, C59 hanyalah usaha rumahan sederhana yang menerima pesanan t-shirt berskala kecil, seperti seragam anak sekolah. Semua dikerjakan secara manual, tanpa teknologi canggih.
Namun, seiring berjalannya waktu, kualitas produk C59 mulai dikenal luas. Pada 1990, Wiwied membangun pabrik sendiri di kawasan Cigadung Permai dan membuka toko retail pertama di Jalan Tikukur No. 10. Hanya lima tahun berselang, C59 resmi menjadi Perseroan Terbatas dengan nama PT Caladi Lima Sembilan.
Sejak saat itu, kiprah C59 semakin melebar. Produk-produknya tidak hanya kaus, tetapi juga jaket, topi, hingga tas, dengan pelanggan besar mulai dari Garuda Indonesia, Toyota, hingga Pertamina. Bahkan, C59 sempat menembus pasar Eropa Tengah.
Baca Juga: Mengenang Dasuki Angkosubroto, Sosok Pendiri Konglomerasi Gunung Sewu
Namun, bagi Wiwied bisnis tak hanya soal laba dan ekspansi. Ia percaya, pengalaman dan pengetahuan harus dibagikan.
“Untuk orang Indonesia yang mau membagikan ilmunya itu, saya rasa masih sedikit,” ucapnya dalam sebuah wawancara dengan Warta Ekonomi pada 2017.
Prinsip itu yang membawanya ke tanah Papua. Sejak 2007, melalui kolaborasi dengan British Petroleum (BP), Wiwied melatih 20 warga Bintuni, Papua, untuk membuat kaus, dari menjahit, menyablon, hingga mendesain.
Selama empat bulan, mereka mengikuti pelatihan langsung di pabrik C59 di Bandung, sebelum kembali membangun usaha lokal bernama Subitu (Suku Bintuni Bersatu) di kampung halaman mereka. Kini, Subitu mampu memproduksi sekitar 500 kaus per bulan dengan pemasaran aktif di Sorong.
Baca Juga: Mengenang Sosok dan Kiprah Liem Gien Nio, Perempuan Pendiri Toko Oen yang Melegenda
“Kalau BP ngebor minyak, saya pikir kenapa seragam karyawannya enggak dibuat saja oleh orang Papua?” kata Wiwied, menyampaikan logika sederhana yang justru membuka peluang besar.
Tak hanya itu, C59 juga membuka program wisata pabrik bagi masyarakat umum. Lewat program ini, siapa pun bisa melihat langsung proses pembuatan kaus, sekaligus belajar langsung dari sang pendiri. Wiwied tak segan membagikan ilmunya kepada siapa saja, termasuk pensiunan atau anak muda yang ingin terjun ke dunia bisnis garmen.
“Banyak sarjana yang nganggur. Tukang jahit mah enggak ada yang nganggur, apalagi menjelang Lebaran,” ujarnya, menyoroti peluang besar di industri konveksi yang kerap dipandang sebelah mata.
Baca Juga: Mengenal Sosok Jogi Hendra Atmadja, Pendiri PT Mayora Indah Tbk
Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan ini juga telah mengantongi berbagai penghargaan bergengsi, seperti Entrepreneur Award dari HIPMI (1993), Upakarti Award dari Presiden Soeharto (1996), hingga penghargaan Enterprise 50 dari Majalah SWA (2001).
Ia juga dikenal aktif di komunitas otomotif, termasuk sebagai Ketua Harley Davidson Club Indonesia Chapter Bandung, dan kerap menjadi pembicara di berbagai forum dari kampus hingga pondok pesantren.
Kini, lebih dari empat dekade sejak awal berdiri, C59 tetap menjadi salah satu brand lokal paling dikenal di Indonesia. Ia bukan hanya simbol keberhasilan bisnis rumahan, tapi juga tonggak inspirasi lintas generasi dan lintas wilayah.
Dari sebuah gang sempit di Bandung, Marius Widyarto telah membuktikan bahwa semangat lokal bisa melahirkan dampak nasional, bahkan hingga menjahit harapan di ujung timur Indonesia.