Di tengah riuh sejarah kolonial dan dinamika kota-kota besar Hindia Belanda, muncul sosok perempuan Tionghoa yang tak hanya piawai meracik resep, tetapi juga lihai membangun bisnis lintas zaman, dialah Liem Gien Nio, sang pendiri Toko Oen, kedai legendaris yang kini identik dengan kenangan manis dan suasana vintage khas era 1930-an.
Di saat peran perempuan di ruang publik masih terbatas, Liem Gien Nio justru melangkah berani, membawa semangat kewirausahaan yang melampaui zamannya.
Dengan paduan cita rasa Eropa dan kehangatan budaya lokal, ia membangun Toko Oen bukan sekadar tempat makan, tapi juga ruang perjumpaan lintas etnis dan generasi.
Latar Belakang Keluarga
Liem Gien Nio lahir di awal abad ke-20 dalam keluarga Tionghoa yang tinggal di Semarang, Jawa Tengah, salah satu kota pelabuhan penting di Hindia Belanda.
Latar belakang keluarganya memberi pengaruh besar terhadap minat dan kecakapan dagangnya. Di masa itu, pendidikan formal untuk perempuan, terlebih dari etnis minoritas itu masih terbatas. Namun, Gien Nio tumbuh dalam lingkungan yang mendorong kemandirian.
Ia dikenal tekun belajar secara otodidak, termasuk dalam hal memasak dan mengelola rumah tangga. Selain itu, ia juga memiliki kemampuan bahasa Belanda yang baik, yang kelak membantunya menjalin relasi dengan pelanggan dari berbagai kalangan, termasuk kaum kolonial.
Awal Merintis Usaha
Toko Oen memiliki akar sejarah yang dalam, berawal dari sebuah toko di Yogyakarta yang dibuka pada tahun 1910. Sebutan Oen sendiri diambil dari nama suami Liem Gien Nio, yakni Oen Tjoen Hok.
Awalnya, Liem Gien Nio memulai usahanya dengan membuat kue kering di Yogyakarta. Siapa sangka, kue buatannya justru sangat disukai oleh warga Belanda saat itu. Melihat antusiasme yang besar, Liem Gien Nio pun memperluas usaha dengan mulai memproduksi es krim pada tahun 1922.
Tak disangka, respons pasar pun begitu positif, terutama dari kalangan Belanda dan elit lokal, hingga akhirnya berkembang menjadi toko kue kering yang kemudian berkembang menjadi kedai es krim dan restoran yang menyajikan hidangan khas Belanda, Tionghoa, dan Indonesia.
Setelah meraih kesuksesan di Yogyakarta, Toko Oen memperluas jangkauannya ke berbagai kota besar. Cabang di Jakarta dibuka pada 1934, namun tutup pada 1973, sementara cabang Malang yang juga dibuka pada tahun yang sama masih bertahan meski sudah berpindah kepemilikan.
Cabang Semarang, yang berdiri sejak 1936 di Jalan Pemuda No. 52, menjadi satu-satunya yang masih dikelola oleh keluarga pendiri. Bahkan, ekspansi Toko Oen sempat menembus Eropa dengan membuka cabang di Delft pada 1997 dan Den Haag pada 2000, sebagaimana dilansir Tirto.Meskipun tokonya di Belanda sudah tutup, merek dagangnya tetap terdaftar dan kerap tampil dalam pameran kuliner di Eropa.
“Tapi di Belanda tokonya sudah tutup, merek dagangnya masih terdaftar di negara Belanda dan Eropa. Paling saat ikut pameran saja di Eropa jika ada festival kuliner,” ujar Yenny Megaradjasa, generasi ketiga pemilik Toko Oen, sebagaimana dikutip dari Radar Malang.
Bisnis yang terus berkembang ini membawa Toko Oen bertransformasi menjadi restoran lengkap, yang menawarkan berbagai hidangan mulai dari makanan pembuka (appetizer), makanan utama (main course), hingga makanan penutup (dessert) hingga kini.
Keunikan Toko Oen juga tak hanya soal menu, melainkan juga keberhasilannya sebagai satu-satunya restoran fusion yang menggabungkan cita rasa masakan Belanda, Indonesia, dan Cina pada masa kolonial Belanda.
Baca Juga: Menelusuri 12 Brand Kuliner Legendaris Indonesia yang Tetap Eksis di Tengah Zaman