Jika Anda pernah berjalan-jalan di sekitar kawasan Monas, Jakarta Pusat, mungkin nama Ragusa Es Italia sudah tak asing di telinga. Di balik bangunan tua dengan meja-meja jadul dan suasana tempo dulu yang khas, tersimpan jejak sejarah kuliner yang tak lekang oleh waktu.
Es krim Ragusa bukan hanya dikenal karena rasanya yang lembut dan ringan, tetapi juga karena konsistensinya mempertahankan keaslian. Tanpa pemanis buatan, tanpa pengawet, dan tanpa esens, es krim ini dibuat dari susu sapi segar dengan resep yang diwariskan sejak awal berdirinya pada masa kolonial Belanda. Sebuah kualitas yang sulit ditandingi bahkan oleh gelato modern masa kini.
Di balik tekstur lembut dan rasa otentik itu, berdirilah sosok yang kisah hidupnya tak kalah menarik, dialah Luigi Ragusa, seorang pemuda Italia yang awalnya datang ke Batavia pada awal 1930-an bukan untuk berjualan es krim, melainkan untuk menimba ilmu menjahit.
Bersama saudaranya, Vincenzo Ragusa, Luigi awalnya hanya berniat belajar keterampilan tangan, tapi hidup justru menuntunnya ke jalur yang sama sekali tak terduga, berkat kemurahan hati seorang wanita Eropa pemilik peternakan sapi di Bandung yang memberinya pasokan susu segar tanpa pamrih.
Peristiwa itu menjadi titik balik bagi mereka. Memanfaatkan keahlian yang mereka bawa dari tanah kelahiran, Luigi dan saudaranya mulai mengolah susu menjadi gelato khas Italia. Respon yang luar biasa dari masyarakat membuat mereka yakin mendirikan toko es krim pertama di Jalan Pos, Bandung.Dari sana, nama Ragusa terus tumbuh dan menjadi ikon yang bukan hanya menawarkan rasa, tetapi juga memori, warisan, dan dedikasi.
Perjalanan Hidup dan Awal Mula Ragusa
Dikutip dari Tempo, Luigi Ragusa datang ke Hindia Belanda (kini Indonesia) bersama saudaranya, Vincenzo Ragusa, bukan untuk berbisnis, melainkan untuk belajar menjahit di sebuah sekolah di Batavia. Pekerjaan mereka sendiri semula membuatkan jas buat Presiden Soekarno. Namun, dalam perjalanan belajar itu, Luigi dan Vincenzo bertemu seorang wanita Eropa yang memiliki peternakan sapi dan memberikan banyak susu sapi kepada mereka, dan di sanalah titik balik hidup mereka terjadi.
Berbekal warisan keahlian dari kampung halaman mereka di Italia, Luigi dan Vincenzo pun akhirnya mengolah susu tersebut menjadi es krim gelato khas Italia, produk yang saat itu masih asing di lidah masyarakat lokal.
Respons publik yang luar biasa atas cita rasa es krim buatan mereka membuat Luigi yakin untuk menekuni usaha ini lebih serius. Mereka mengajak tiga saudara laki-laki lainnya untuk bergabung, dan bersama-sama mendirikan toko es krim pertama mereka di Jalan Pos (kini Jalan Naripan), Bandung. Seorang teman lama dari sekolah menjahit, Jo Giok Siaw, juga turut membantu dalam aspek operasional.
Motivasi Mendirikan Es Krim Ragusa
Luigi Ragusa mendirikan Ragusa bukan semata untuk berdagang, tetapi sebagai bentuk adaptasi dan inovasi atas peluang yang ada. Ia melihat bahwa dengan bahan lokal berkualitas seperti susu segar, ia dapat menghadirkan rasa khas Italia yang tak hanya menyegarkan tetapi juga unik di pasar Hindia Belanda saat itu. Ragusa pun menjadi simbol perpaduan budaya dan selera antara Eropa dan Asia kala itu.
Dan dikutip dari Inilahcom, perjalanan usaha es krim legendaris ini dimulai pada tahun 1932, di tengah riuh dan kemeriahan Pasar Gambir, sebuah ajang tahunan bergengsi yang menjadi tempat berkumpulnya masyarakat Batavia untuk menikmati hiburan, sajian kuliner, dan aneka budaya dari berbagai penjuru.
Saat itu, es krim Ragusa tampil sebagai pendatang baru yang langsung mencuri perhatian. Dengan cita rasa khas Italia, tekstur ringan dari susu sapi segar, dan proses pembuatan yang sepenuhnya manual, produk ini menawarkan pengalaman baru yang belum pernah ada di Batavia. Namun, karena Pasar Gambir hanya berlangsung sekali dalam setahun, Luigi dan Vincenzo Ragusa merasa perlu menghadirkan sesuatu yang lebih permanen.
Lima belas tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1947, mereka pun akhirnya mewujudkan impian itu dengan membuka kedai tetap di Citadelweg, yang kini dikenal sebagai Jalan Veteran I No. 10, Jakarta Pusat.
Pilihan lokasi ini sangat strategis karena berdekatan dengan pusat pemerintahan, pusat kota, dan kawasan Monas yang kini ikonik. Kedai ini pun menjadi tempat persinggahan favorit berbagai kalangan, mulai dari pelajar, pejabat tinggi, hingga wisatawan mancanegara.
Jatuh Bangun Usaha
Perjalanan Ragusa tidak selalu semanis rasa es krimnya. Pada periode 1945 hingga 1972, masa transisi pasca-kemerdekaan Indonesia membawa gelombang perubahan besar.
Banyak warga negara asing yang dulu menjadi pelanggan setia Ragusa kembali ke tanah asal mereka, meninggalkan ruang kosong dalam daftar pengunjung. Penjualan pun menurun drastis, dan masa depan Ragusa sempat dipertanyakan.
Di tengah situasi penuh ketidakpastian, Ragusa memilih untuk tetap teguh pada prinsip, yakni menjaga keaslian rasa, mempertahankan resep tanpa bahan pengawet, dan tidak mengikuti arus tren kuliner modern yang datang silih berganti. Mereka percaya, kualitas dan konsistensi akan selalu menemukan jalannya.
Keyakinan itu terbukti. Seiring berkembangnya kawasan Monas sebagai destinasi wisata dan pendidikan setelah tahun 1972, Ragusa Es Italia kembali menemukan napasnya.
Kedai tua itu kini menjadi ruang penuh kenangan, tempat orang-orang dari lintas generasi datang bukan hanya untuk menikmati es krim, tetapi juga untuk merasakan sepotong sejarah yang masih hidup.
Estafet Bisnis
Di tengah gemerlap Jakarta yang terus berubah, Ragusa Es Italia tetap setia berdiri dengan nuansa klasik yang menolak dilupakan. Di balik kursi rotan dan interior bergaya tempo dulu di Jalan Veteran I No. 10/20, tersimpan kisah tentang kesetiaan, kepercayaan, dan cinta pada warisan. Kisah ini pun akhirnya dilanjutkan oleh pasangan Guntoro Kurniawan dan Hj. Sias Mawarni Saputra.
Kisah mereka dimulai dari kepercayaan yang tak ternilai. Pada awal 1970-an, setelah puluhan tahun meracik cita rasa gelato khas Italia di tanah Batavia, keluarga Ragusa memutuskan kembali ke negara asal mereka.
Namun, sebelum meninggalkan Indonesia, mereka melepaskan kepemilikan Ragusa kepada seseorang yang sudah mereka anggap seperti keluarga sendiri, yakni Guntoro, sang karyawan yang telah lama bekerja dengan dedikasi tinggi dan kesetiaan tanpa cela.
Bukan dengan harga atau kontrak yang rumit, tapi dengan ketulusan hati, Luigi dan Vincenzo Ragusa mewariskan kedai legendaris itu secara cuma-cuma.
Bagi mereka, Guntoro bukan hanya tangan kanan, tapi juga penjaga cita rasa dan filosofi hidup yang dibangun sejak 1932. Tak lama kemudian, Guntoro menikahi Hj. Sias, dan bersama sang istri, ia memilih untuk melanjutkan warisan Ragusa, tidak hanya dalam bentuk bisnis, tetapi sebagai nilai kehidupan.
Di tangan pasangan ini, Ragusa bukan hanya bertahan, tapi juga tetap setia pada akarnya. Resep otentik gelato Italia terus digunakan tanpa pengawet atau pemanis buatan, mesin tradisional warisan Ragusa tetap dipakai, dan suasana kedai sengaja dijaga agar tetap menyuguhkan rasa nostalgia masa lalu.
Bahkan ketika tren dessert modern datang silih berganti, Ragusa tetap memilih berdiri pada prinsip satu kedai, satu rasa, satu sejarah.
Kini, satu-satunya outlet resmi Ragusa Es Italia yang berada di pusat kota Jakarta itu bukan hanya tempat makan es krim, tapi cagar budaya hidup yang menghidupkan kembali jejak sejarah kolonial, kehangatan keluarga, dan cita rasa lintas generasi.