Pendidikan menjadi salah satu aspek penting untuk anak-anak agar tumbuh menjadi generasi maju. Namun tak dipungkiri, masih ada anak-anak yang mengalami hambatan atau tantangan untuk menjadi bagian dalam generasi maju, terutama terhadap akses pendidikan.
Di Indonesia sendiri, fenomena anak putus sekolah masih saja terjadi. Mirisnya, angka anak putus sekolah didominasi oleh mereka yang masih menempuh pendidikan di tingkat sekolah dasar (SD).
Sebagaimana yang diungkap oleh Prof. Dr. Seto Mulyadi, M.Si., Psikolog atau yang akrab disapa Kak Seto selaku Ketua Umum LPAI (Lembaga Perlindungan Anak Indonesia). Kak Seto memaparkan fakta jumlah Angka Putus Sekolah (APS) yang didominasi tingkat SD
“Terdapat lebih dari 40.000 anak Indonesia putus sekolah di tingkat Sekolah Dasar. Padahal, jenjang pendidikan dasar bagi seorang anak merupakan tahap krusial dan sangat berpengaruh bukan hanya pada perkembangan akademis, tetapi juga pembentukan pribadi anak,” ujarnya dalam agenda konferensi pers “Menuju 70 Tahun SGM: Peluncuran Program Dana Pendidikan Dukung Kemajuan Anak Indonesia", Rabu (5/6/2024).
"Ini menjadi kunci pada berbagai aspek perkembangan dalam membentuk wawasan dan kemampuan dasar yang diperlukan anak untuk fase kehidupan selanjutnya,” tambahnya.
Sebagaimana yang terungkap dalam data Angka Putus Sekolah (APS) , siswa putus sekolah di tingkat jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) merupakan yang tertinggi, yakni mencapai 40.632 anak dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat berdasarkan Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2021, sebanyak 76% keluarga mengakui anaknya putus sekolah karena alasan ekonomi. Sebesar 67,0% di antaranya tidak mampu membayar biaya sekolah, sementara 8,7% sisanya harus mencari nafkah.
Dalam agenda serupa, publik figur penggiat pendidikan Arumi Bachsin turut mengungkap hal pelik yang pernah ditemuinya ketika bertugas di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur bersama sang suami. Diakui Arumi, ia pernah menemui kasus ketika anak kelas 5 atau 6 SD putus sekolah lantaran harus membantu orang tuanya di ladang.
Diungkap Arumi, pemerintah setempat sudah mencanangkan program gratis SPP alias sekolah tanpa harus membayar SPP. Namun kenyataannya, bukan hanya biaya SPP yang menjadi masalah pendidikan saat ini.
Ada banyak penghambat lain yang membuat anak putus sekolah. Mulai dari letak geografis, hingga biaya pendukung pendidikan lainnya seperti biaya untuk seragam sekolah, buku, dan masih banyak lagi.
“Biaya pendidikan juga tidak cuman soal SPP, sekompleks itu. Misalnya buku, seragam, ongkos, bekal, uang jajan. Bahkan kalau di kasus ekstrim, orang tua butuh tenaga si anak karena sudah tua. Indonesia ini PR-nya masih besar soal masalah pendidikan," tutur Arumi.
Dampak Anak Putus Sekolah
Putus sekolah seolah menjadi pemicu terbukanya ‘gerbang’ masalah sosial. Ada banyak masalah sosial yang dapat muncull akibat seorang anak yang tidak mendapatkan pendidikan dasar yang cukup. Di antaranya adalah pengangguran, kemiskinan, hingga yang paling berbahaya adalah kriminalitas.
"Bisa memunculkan pengangguran, karena mereka (anak) tidak mempunyai dasar pendidikan yang cukup. Kemudian, mungkin juga menambah tingginya tingkat kemiskinan dalam keluarga," terang Kak Seto
“Dampak yang paling berbahaya dan harus benar-benar diwaspadai dari putus sekolah adalah bisa memunculkan kriminalitas. Mereka mencoba untuk bisa mendapatkan uang dengan jalan pintas, seperti menodong, atau merampok,” tambahnya.
Hak Anak untuk Mendapatkan Pendidikan
Lebih lanjut, Kak Seto memaparkan akan empat hak dasar anak. Di antaranya adalah, hak untuk hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan dari berbagai kekerasan, hingga hak partisipasi.
Menurut Kak Seto, hak yang paling penting bagi anak dalam tumbuh kembangnya adalah hak untuk mendapatkan pendidikan. Yang mana, juga menjadi salah satu strategi untuk menuju Indonesia Emas 2045.
“Salah satu hak yang penting adalah hak tumbuh kembang itu hak anak untuk bermain gembira dan mendapatkan pendidikan. Dengan mendapatkan pendidikan, anak akan tumbuh kembang dan menjadi orang hebat di masa depan,” jelas Kak Seto.
“Kalau sampai hari ini hak pendidikannya tidak terpenuhi, itu berarti layu sebelum berkembang. Jangan biarkan anak-anak putus sekolah, kalau mau mencapai Indonesia Emas (Indonesia Emas 2045), sambungnya.
Senada dengan Kak Seto, Arumi Bachsin juga memaparkan bahwa mendapatkan pendidikan sudah menjadi hak setiap anak. Dan sampai usia berapa pun, wajib belajar 12 tahun harus dituntaskan oleh anak-anak.
“Sudah dilindungi sama undang-undang kalau memberikan pendidikan kepada anak itu hak nya anak. Kalau tidak bisa dituntaskan sekarang, apapun alasannya, di usia berapa pun harus dituntaskan. Kalau tidak sekolah, ada satu legitimasi yang kurang. Sekolah itu yang penting bukan ijazahnya, tapi bisa membentuk pola pikir di masyarakat,” tegas Arumi.
Program Bantuan Dana Pendidikan Sekolah Dasar
Menurut Kak Seto, perlu ada peran serta dari berbagai aspek yang bersinergi untuk menekan angka anak putus sekolah, khususnya di tingkat Sekolah Dasar (SD). Mulai dari komunitas, masyarakat, keluarga, pemerintah hingga peran swasta seperti program yang dicanangkan oleh PT. Sarihusada Generasi Mahardika (SGM).
Dalam rangka menyambut #70TahunSGM adalah program Bantuan Dana Pendidikan tingkat Sekolah Dasar (SD) untuk Anak Generasi Maju Indonesia. Bantuan dana pendidikan tersebut, nantinya akan diberikan kepada 70 anak Indonesia terpilih.
Program Dana Pendidikan ini menjadi komitmen nyata SGM Eksplor untuk memastikan setiap anak di Tanah Air memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan mencapai potensi dengan mendapatkan akses pendidikan di jenjang sekolah dasar (SD) sebagai pondasi utama menggapai cita-cita.
Adapun total dana yang akan diberikan senilai Rp2 Miliar untuk 70 anak dengan rentang usia 1-6 tahun yang terpilih. Dana dalam bentuk tabungan pendidikan ini nantinya akan disalurkan saat anak sudah siap atau mulai menempuh pendidikan tingkat sekolah dasar (SD).
Untuk merealisasikan pemberian dukungan dana pendidikan ini, SGM bermitra dengan organisasi yang memiliki visi serupa terkait akses nutrisi dan pendidikan demi kemajuan anak bangsa. Salah satu mitranya adalah Hoshizora Foundation, sebuah organisasi nirlaba yang berkomitmen membantu anak-anak Indonesia mendapatkan pendidikan berkualitas melalui ekosistem dukungan seperti beasiswa, pelatihan guru, dan pendampingan orang tua.
Hoshizora Foundation mendukung SGM Eksplor dalam proses pemberian dana pendidikan, pemilihan pemenang, serta pendampingan kepada orang tua, terutama ibu, agar mereka dapat memaksimalkan dana pendidikan dan potensi anak melalui berbagai pelatihan tentang pentingnya mendukung pendidikan anak dan pengelolaan keuangan yang bijak.
Selain itu, SGM Eksplor juga bekerja sama dengan PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (Alfamart), sebuah perusahaan ritel lokal yang mendukung kegiatan minum susu bersama secara serentak di 70 kota di Indonesia. Kerja sama ini terjadi karena visi yang sama antara Alfamart dan SGM Eksplor dalam mendukung terciptanya generasi emas 2045.
“Di tengah tantangan dan perubahan yang terus berlangsung, pendidikan anak-anak merupakan langkah yang krusial untuk membangun generasi emas 2045. Untuk itu, SGM Eksplor mengajak kerjasama berbagai pihak, mulai dari masyarakat luas, mitra bisnis, LSM hingga pemerintah untuk bersama-sama mendukung kemajuan anak Indonesia dengan memperoleh akses pendidikan yang berkualitas, karena masa depan bangsa kita bergantung kepada anak anak saat ini,” ujar Head of Brand SGM Eksplor, Patrisia Marlina.
“Upaya ini selaras dengan impian besar para pemimpin Indonesia untuk memberikan gizi dan pendidikan terbaik bagi anak-anak Indonesia, sehingga mereka memiliki sumber daya manusia unggul sejak dini untuk mewujudkan Generasi Emas Indonesia pada tahun 2045,” tambahnya.
SGM Eksplor akan terus konsisten mendukung Indonesia untuk menciptakan Generasi Emas melalui nutrisi terbaik serta memberikan akses lewat kontribusi nyata terhadap pendidikan anak-anak Indonesia, sejalan dengan visi pemerintah untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang unggul dari generasi ke generasi untuk mencapai Generasi Emas Indonesia pada tahun 2045.