Upaya menyelidiki dugaan kecurangan Pemilu 2024 lewat hak angket yang digulirkan calon presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo didukung penuh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Megawati mendukung Parlemen Senayan menggulirkan interpelasi lantaran merasa hasil Pemilu 2024 telah dicurangi pihak tertentu untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Dugaannya kecurangan itu dilakukan terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) pada masa sebelum pencoblosan, saat pencoblosan, dan setelah pencoblosan.
Baca Juga: Upaya Menggugurkan Hasil Pemilu dan Agenda Jahat di Balik Wacana Hak Angket
Kendati mendukung pengusutan dugaan kecurangan tersebut, namun Megawati tak mau menjadikan Presiden Joko Widodo sebagai sasaran tembak. Menurutnya upaya mengungkap kecurangan Pemilu itu sama sekali tak bertujuan untuk melengserkan Jokowi dari kursi RI 1.
“Hak angket bukan untuk pemakzulan. Ibu Megawati juga tidak ingin pemerintahan goyah sampai 20 Oktober 2024, dan Ibu Megawati tidak memerintahkan para menteri dari PDI Perjuangan untuk mundur,” kata Deputi hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis dalam sebuah wawancara dilansir Olenka.id Selasa (27/2/2024).
Lebih lanjut Todung Mulya mengatakan upaya memakzulkan kepala negara adalah agenda yang tak bisa dicampuradukkan dengan agenda interpelasi. Itu adalah dua agenda yang berbeda.
Dia kembali menegaskan PDIP hanya berniat mengoreksi berbagai dugaan kecurangan Pemilu, bukan berupaya menggulingkan Jokowi. Namun di sisi lain dia justru menegaskan, bahan interpelasi bisa saja digunakan untuk melengserkan kepala negara jika memang terbukti terlibat dalam berbagai kecurangan itu.
“Proses pemakzulan itu terpisah dengan angket yang jalan sendiri, tetapi jika bahan hasil angket menjadi bahan untuk pemakzulan itu persoalan lain. Sekarang ini hak angket tidak ada hubungannya dengan pemakzulan,” tutur Todung.
Todung juga menjelaskan, dugaan kecurangan Pemilu 2024 terjadi sejak masa prapencoblosan hingga setelah pencoblosan. Pada masa pra pencoblosan, intervensi membuat kekuasaan tidak netral. Hal ini bisa dilihat di media massa dan media sosial.
Baca Juga: Hasan Nasbi: Prabowo Adalah Kesabaran yang Panjang, Tak Ada yang Lebih Tabah Darinya
Baca Juga: Digadang-gadang Jadi Calon Ibu Negara Pendamping Prabowo, Segini Kekayaan Titiek Soeharto
Kemudian, politisasi bantuan sosial (bansos) begitu massif, padahal sebelumnya tidak pernah terjadi seperti pada Pemilu 2024. Demikian juga dengan dikte patron penguasa seperti bupati, camat, kepala desa, dan pemuka agama mempengaruhi sikap pemilih.
“Dalam masyarakat yang paternalistik seperti Indonesia, apa yang dikatakan patron itu didengar pemilih,” tandas Todung.