Maraknya kasus bunuh diri di lingkungan akademis (mahasiswa/pelajar) dan kerja (karyawan) beberapa tahun terakhir, menunjukkan rapuhnya kesehatan mental mereka dan kurangnya pemahaman masyarakat akan pentingnya kesehatan mental. Pemahaman masyarakat mengenai kesehatan mental, pemicu keinginan bunuh diri, serta langkah-langkah preventif yang dapat dilakukan untuk mendeteksi dan mencegah usaha bunuh diri masih minim.

Banyak generasi muda yang menghadapi tantangan kesehatan mental, mulai dari tekanan akademis, tekanan kerja, hingga ketidakpastian dalam menjalani hidup. Meskipun hal ini sering dianggap normal, kenyataannya, banyak generasi muda merasa terpuruk dan bahkan berpikir untuk melakukan tindakan ekstrim seperti bunuh diri. Kasus-kasus bunuh diri di kalangan pelajar dan pekerja muda semakin marak, menunjukkan bahwa banyak dari mereka yang kesulitan mencari jalan keluar dari permasalahan mentalnya.

Menurut data WHO tahun 2024, lebih dari 720.000 orang di seluruh dunia meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya, dan yang lebih mengkhawatirkan, kelompok usia 15-29 tahun adalah kelompok yang paling rentan. 

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan RI mengutip data dari POLRI yang menunjukkan bahwa pada tahun 2023, terdapat 1.350 kematian akibat bunuh diri. Hingga Agustus 2024, bunuh diri bahkan menjadi kasus gangguan ketertiban terbanyak keempat. Jika tidak segera bertindak, risiko ini akan semakin mengancam generasi muda.

Baca Juga: Langkah Nyata Menuju Kesejahteraan Mental: Mencari Kebahagiaan di Tengah Tantangan Hidup

"Salah satu faktor utama yang sering menjadi pemicu keinginan bunuh diri di kalangan generasi muda adalah inner child yang belum terselesaikan. Inner child mengacu pada bagian dari diri kita yang masih membawa luka atau trauma dari masa kecil," ujar Coach Pris, Founder HappySelf by Stress Management Indonesia, dalam rilis yang diterima Olenka, Minggu (29/9/2024).