Industri garmen dan tekstil di Tanah Air tengah merana. Terbaru, badai yang menerjang industri ini akhirnya mencapai kulminasi ketika salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang, Jawa Tengah, per 21 Oktober 2024 lalu.
Usut punya usut, Sritex tercatat memiliki utang sebesar Rp101,30 miliar kepada IBR, atau setara 0,38% dari total liabilitas perseroan.
Jauh sebelum kabar pailit Sritex, tak hanya satu atau dua pabrikan tekstil nasional yang tak mampu bertahan hingga memutuskan untuk menutup pabrik dan memicu gelombang PHK tekstil.
Tak bisa dipungkiri memang industri garmen dan tekstil memang tengah berada di bawah tekanan yang cukup hebat, baik dari faktor domestik maupun eksternal (global).
Dari dalam, mereka ditekan oleh kenaikan biaya produksi, kenaikan upah minimum, daya beli masyarakat yang terus melemah, serta sejumlah kebijakan pemerintah yang tidak pro industrialisasi.
Serikat Pekerja Nusantara menyatakan bahwa pailitnya PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) bukanlah kasus yang pertama kali terjadi. Beberapa perusahaan di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) sudah lebih dulu berhenti beroperasi tahun ini akibat pailit atau kebangkrutan.
“Di sektor garmen ada beberapa perusahaan yang memang kondisinya sulit,” beber Ketua Bidang Riset, Penelitian dan Pengembangan Organisasi SPN, Sugianto, dikutip dari laman Tempo.co, Minggu (27/10/2024).
Baca Juga: Serba-Serbi Rencana Prabowo Selamatkan Sritex yang Kini Dinyatakan Pailit
Sugianto pun menuturkan, kondisi pailit dialami oleh pabrik tekstil di Pekalongan. Pada Kamis, 12 September 2024 lalu, Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri Semarang memutuskan pailit kepada PT Pandanarum Kenangan Textil (Panamtex). Permohonan pailit diajukan oleh mantan karyawan mereka.
Panamtex adalah perusahaan tekstil di Pekalongan yang berdiri sejak tahun 1994 dengan produksi utama Sarung Tenun BIN SALEH, Sarung GOYOR dan Surban.
Adapun, fenomena penutupan pabrik dan PHK massal tersebut disebut-sebut karena perusahaan tekstil lokal kalah bersaing dengan produk impor murah yang membanjiri pasar dalam negeri.
Di sisi lain, pesanan juga mengalami penurunan. Pengaruh teknologi dan media sosial terhadap cara penjualan dan pembelian, serta dampak dari pandemi Covid-19 yang belum teratasi pemulihannya turut menjadi pemicu kolapsnya sejumlah pabrik tekstil di Indonesia.
Deretan Pabrik Tekstil yang Tutup Sejak Januari s.d Oktober 2024
- PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL)/Sritex: Resmi ditetapkan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang 21 Oktober 2024.
- PT Dupantex: PHK sekitar 700 orang
- PT Pandanarum Kenanga Textile (Panamtex): Resmi ditetapkan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang 12 September 2024.
- PT Cahaya Timur Garmindo: Resmi ditetapkan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang 26 Maret 2024.
- PT Sampangan Duta Pancasakti Tekstil (Dupantex): Telah berhenti beroperasi sejak 6 Juni 2024
- PT Alenatex: Telah tutup sejak awal tahun 2024 dan melakukan PHK terhadap 700 pekerjanya.
- PT Kusumahadi Santosa: Telah berhenti beroperasi sejak 21 April 2024, PHK sekitar 500 orang
- PT Kusumaputra Santosa: Telah berhenti beroperasi dan melakukan PHK terhadap 400 pekerjanya.
- PT Pamor Spinning Mills: Telah berhenti beroperasi dan melakukan PHK terhadap 700 orang pekerjanya.
- PT Sai Apparel: PHK sekitar 8 ribu orang
- PT Sinar Panca Jaya:PHK sekitar 3 ribu orang dilakukan ke kantor
Baca Juga: Menguak Penyebab Jatuhnya Raksasa Tekstil Sritex
Deretan Pabrik Tekstil Melakukan PHK Massal karena Efisiensi
- PT Bitratex di Semarang, PHK 400-an orang
- PT Johartex di Magelang, PHK 300-an orang
- PT Pulomas di Bandung, PHK 214-an orang
- PT Daliatex, PHK 500-an orang
- PT Delta Merlin 1 di Karanganyar, PHK 200-an orang
- PT Delta Merlin 2 di Karanganyar, PHK 100-an orang
- PT Agung Tex di Karanganyar, PHK 50-an orang
- PT Samwon di Semarang, PHK 350-an orang
Daftar Pabrik Tekstil Terancam Pailit
Sementara itu, berikut adalah daftar pabrik tekstil yang terancam bangkrut terimbas Sritex, dikutip dari Lampost.co:
- PT Dupantex
- PT Alenatex
- PT Kusumahadi Santosa
- PT Pamor Spinning Mills
- PT Kusumaputra Santosa
- PT Sai Apparel
- PT Sinar Pantja Djaja
- PT Bitratex Industries
- PT Djohartex
Baca Juga: Gerak Cepat Prabowo Selamatkan Gelombang PHK PT Sritex Dijempoli Serikat Pekerja
Sikap Pemerintah Terkait Industri Tekstil
Terkait sikap pemerintah guna menghindari ‘kiamat’ industri tekstil, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan bahwa pemerintah tengah menyiapkan sejumlah upaya.
Salah satunya adalah dengan menerapkan kebijakan Bea Masuk Antidumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) atau safeguard untuk menyelamatkan industri tekstil.
"Pemerintah menyiapkan ada beberapa langkah untuk sektor industri tekstil termasuk kaitannya dengan safeguard dan juga antidumping," ujarnya saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Kamis (30/10/2024).
Airlangga juga bilang, saat ini mekanisme penerapan kedua kebijakan itu tengah dalam pembahasan oleh pemerintah dan lembaga. Diharapkan dengan langkah penyelamatan ini, industri tekstil dalam negeri terjaga dari persaingan tidak sehat mulai dari hulu hingga ke hilir.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan pun berencana menjadwalkan rapat koordinasi terbatas dengan Kementerian Perindustrian pekan depan untuk membahas babak belurnya industri tekstil nasional.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Isy Karim, mengatakan, dua kementerian itu akan membahas keberadaan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 8/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor yang dituding oleh berbagai pihak sebagai biang keladi rontoknya sejumlah industri, termasuk tekstil, karena membuka keran impor.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, mengatakan, Permendag No 8/2024 menjadi salah satu penyebab lesunya industri tekstil di dalam negeri. Raksasa tekstil PT Sritex bahkan sampai dinyatakan pailit oleh PN Niaga lantaran kesulitan keuangan akibat lesunya penjualan.
"Rencana minggu depan akan dibahas dengan Kemenperin soal kondisi industri tekstil. Permendag No 8/2024 juga nanti dibicarakan," kata Isy di kantor Kemendag Jakarta, Rabu (30/10/2024), dikutip dari Media Indonesia.
Lebih jauh, Isy belum bisa memastikan apakah pemerintah akan merevisi Permendag 8/2024. Revisi atau tidak, kata Isy, tergantung hasil rapat koordinasi terbatas. “Nanti tergantung pembicaraan di rakornas.
Terkait gonjang-ganjingnya industri tekstil ini, Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, pun menekankan bahwa pemerintah akan memastikan tidak adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi para karyawan dan menginstruksikan agar industri tekstil tetap berproduksi.
Yassierli juga bilang, pemerintah akan terus memperhatikan perlindungan tenaga kerja di industri tekstil dalam negeri tersebut dan memastikan bahwa hak-hak para pekerja tetap terpenuhi.
“Kami minta agar semua karyawan tetap tenang karena pemerintah akan memberikan solusi yang terbaik. Kondisi saat ini masih dalam proses hukum, dan langkah-langkah selanjutnya sudah sangat baik. Insyaallah tidak ada masalah,” beber Menaker.
Baca Juga: 8 Pengusaha Tajir yang Berbisnis Tekstil Terbesar di Indonesia, Siapa Saja?
Respons Pengamat
Terpisah, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eisha Maghfiruha Rachbini, menuturkan bahwa penyelamatan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri tidak boleh hanya fokus kepada satu perusahaan saja.
"Untuk kebijakan pemerintah, yang perlu ditekankan adalah penyelamatan industri tekstil, bukan hanya pada satu perusahaan saja," ungkap Eisha, sebagaimana dikutip dari Kontan.
Elsha juga menyarankan, pemerintah juga harus memiliki kebijakan terkait pekerja yang terdampak, dalam hal ini memberikan jaminan sosial, agar tidak kemudian berdampak pada penurunan daya beli, dan bertambahnya masyarakat yang masuk ke kelompok miskin
Dikatakan Elsha, kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan industri tekstil, juga dapat dilakukan dengan memberikan peluang pasar untuk produk tekstil.
"Misal, dengan menumbuhkan kembali pasar untuk produk tekstil dalam negeri, dan melarang produk tekstil ilegal serta pakaian impor bekas. Lalu, promosi dan peluang pasar ekspor non-tradisional melalui diplomasi dan kerjasama internasional," tambahnya.
Sedangkan dari sisi perusahaan tekstil, Elsha menyarankan perusahaan untuk cepat melakukan inovasi dan efisiensi usaha.
“Contohnya, mencari pasar baru ekspor ke pasar non tradisional. Dan mencari potensi pasar untuk domestik, melalui penciptaan captive market, misalnya melalui pengadaan seragam sekolah, pegawai dgn tekstil dalam negeri," beber Elsha.
Sementara itu, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof. Dr. Anton Agus Setyawan, S.E., M.Si., mengatakan, tidak mudah untuk memulihkan kondisi tekstil saat ini. Dengan berbagai tantangan yang ada, tentu harus dilakukan pemetaan, tantangan mana yang harus perbaiki terlebih dulu.
"Apakah efisiensinya dulu? Atau mau bikin regulasi dulu untuk mengatur supaya impor yang masuk tidak mengganggu industri dalam negeri? Itu kan dilema," kata Anton, sebagaimana dikutip dari espos.id.
Untuk melakukan efisiensi ini, kata Anton, tentunya butuh investasi baru. Namun dengan kondisi pasar yang lesu seperti saat ini, pasti pilihan itu akan berat.
Jika kemudian menutup atau membatasi impor, di sisi lain juga banyak pengusaha dalam yang bisnisnya mengandalkan impor. Pembatasan impor produk jadi, juga dinilai akan berdampak pada industri lain. Bahkan produk batik pun juga mengandalkan bahan baku impor.
"Menurut saya, prioritas pertama pemerintah ya memikirkan efisiensi di industri tekstil dulu. Bagaimana membuat produk yang lebih murah, meskipun itu juga susah. Bukan hanya kita, negara Eropa saja mungkin juga ampun-ampun dengan model manufacturing Cina," kata dia.
Meski sulit, namun menurut Anton, masih tetap ada peluang. Selain masalah regulasi dan efisiensi, kata Anton, penguatan pasar dalam negeri juga harus dilakukan. Menurutnya, dalam hal ini pemerintah memiliki kemampuan.
Baca Juga: Misi Penyelamatan Sritex, Menaker yakin Puluhan Ribu Karyawan Bisa Lolos dari Badai PHK