Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,12% secara tahunan (year on year/yoy) pada kuartal II tahun 2025. Pencapaian ini lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya sebesar 4,87%.

Capaian ini rupanya menimbulkan pertanyaan bagi sejumlah pihak. Salah satunya datang dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Menurut mereka, sejumlah data yang diterima menunjukkan kondisi sebaliknya.

Baca Juga: Paradoks Capaian Tinggi Pertumbuhan Ekonomi Q2/2025 di Tengah Fenomena Rojali-Rohana

"Kita patut bertanya dan BPS patut menjelaskan terkait dengan apakah itu mekanisme atau pun pengambilan data karena tidak cukup mencerminkan kondisi real di lapangan," ujar Andry Satrio Nugroho, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, dalam diskusi yang berlangsung Rabu (6/8/2025).

Dia mencontohkan data pertumbuhan investasi selama kuartal II/2025 dengan kuartal II/2024. Data BKPM menunjukkan adanya pertumbuhan investasi selama kuartal II tahun ini, tapi tidak sebesar pertumbuhan di kuartal II tahun 2024. "Pertumbuhan di kuartal II, baik PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) maupun PMA (Penanaman Modal Asing) hanya naik 12 persen, sedangkan di tahun 2024 kenaikannya 22 persen," tegasnya.

Respons serupa juga disampaikan M. Fadhil Hasan, Ekonom Senior INDEF yang hadir dalam kesempatan yang sama. Dia mengatakan, "Sebelumnya, dari BI (Bank Indonesia) dan Kementerian Keuangan memperkirakan pertumbuhan di angka 4,7-5,1%; proyeksi tahunan Bank Dunia 4,7-4,9%. Sementara itu, perkiraan dari INDEF, CORE, LPM UI itu 4,8-4,95%. Dengan begitu, selisih dengan yang diumumkan oleh BPS cukup signifikan sehingga ini menimbulkan pertanyaan."

Fadhil lantas membedah sejumlah temuan yang bertolak belakang dengan klaim pertumbuhan ekonomi selama kuartal II/2025. Menurutnya, leading economic indicator selama periode tersebut malah menunjukkan adanya pelemahan, dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2024.

"Industri manufaktur tumbuh 5,68%. Padahal, kalau dilihat indikatornya, salah satunya lewat PMI-purchasing manufacturing index- justru berada di bawah angka 50 yang artinya kontraksi. Kedua, dari sisi konsumsi secara umum juga mengalami pelemahan dan tidak ada dorongan sistem efek, misalnya dari Lebaran dan Ramadan," ujarnya.

Ketiga, dari sisi penjualan kendaraan yang menurun baik wholesale maupun retail. Wholesale periode Januari-Juni 2025 drop sebesar minus 8,6 persen, sedangkan retail drop sebesar 9,5 persen.

Keempat, dari sisi investasi, FDI (Foreign Direct Investment) mencatatkan pelemahan. "Keterangan dari Pak Rosan (Menteri Investasi, red) sendiri menyatakan bahwa turun menjadi Rp202,2 triliun di periode ini, dari kuartal II tahun 2024 sebesar Rp217,3 triliun," tegasnya.

Indikator lainnya, lanjut Fadhil, adalah pertumbuhan kredit. Selama periode Januari-Juni tahun 2025, kredit tumbuh sebesar 7,7%, turun dari 8,3% di Januari-Juni 2024. Selain itu, terjadinya peningkatan PHK di semester pertama tahun 2025 yang melonjak 32% dibandingkan periode yang sama di tahun yang lalu.

"Munculnya fenomen Rojali dan Rohana yang mengindikasikan adanya pelemahan daya beli masyarakat juga menjadi pertanyaan. Mengapa di tengah indikasi pelemahan ekonomi yang terjadi, laporan BPS justru mencatat sebaliknya?" pungkasnya.