Di balik gemerlap gedung-gedung megah dan kawasan elit yang dibangun Ciputra Group, tersimpan kisah sederhana dan penuh perjuangan dari sang pendiri, Ir. Ciputra.

Lahir di Parigi, Sulawesi Tengah, dan besar dalam kesederhanaan, Ciputra tumbuh sebagai sosok pekerja keras yang menjadikan keterbatasan sebagai cambuk untuk meraih impian besar.

Semangat pantang menyerah dan kecintaannya pada dunia arsitektur mengantarkannya menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh di bidang properti Indonesia.

Dan, perjalanan menuju kejayaan itu dimulai dari sebuah rumah kecil di Bandung, dimana di tempat itu Ciputra akan menimba ilmu di kampus impiannya, Institut Teknologi Bandung (ITB).

“Setelah berkelok-kelok sebentar mencari alamat, akhirnya saya menemukan rumah Ci Ana di Jalan Soka Nomor 16. Sebuah rumah berukuran sedang yang berada di tengah kepungan permukiman padat. Saya menginap di rumah itu. Tak ada sambutan istimewa dan memang tidak perlu. Ci Ana hidup dalam kebersahajaan,” tutur Ciputra, dalam buku biografinya yang bertajuk The Passion of My Life karya Alberthiene Endah, sebagaimana dikutip Olenka, Jumat (20/6/2025).

Menurut Ciputra, rumah itu menjadi tempat singgah pertamanya saat merantau ke Jawa demi mengejar pendidikan di ITB. Di tengah keraguan dan rasa rendah diri karena latar belakang ekonominya, Ciputra tetap teguh dan berdoa penuh haru.

“Tidak perlu banyak waktu untuk menata barang karena saya hanya membawa sedikit saja bawaan. Baju saya tidak banyak. Sepatu hanya sepasang. Buku-buku pelajaran juga hanya sedikit saya bawa, yang berkaitan dengan matematika. Selebihnya, saya beristirahat. Saya habiskan banyak waktu untuk berdoa. Mata saya basah. Rasa haru memenuhi raga saya,” terang dia.

Kekaguman Ciputra Akan Bandung

Ciputra mengatakan, setibanya di Bandung, matanya dimanjakan oleh jajaran rumah-rumah cantik warisan kolonial, jalan-jalan yang rindang, serta suasana yang menyejukkan. Bangunan kampus yang didominasi warna putih susu dan batu alam hitam berdiri megah di tengah rerimbunan pepohonan.

Pilar-pilar silinder berlapis batu alam menghiasi lorong-lorong kampus yang teduh dan tenang. Saat itu, Ciputra pun langsung jatuh cinta, bukan hanya pada arsitektur bangunan, tapi juga pada harapan dan kemungkinan yang ia rasakan di tengah keindahan kampus itu.

Meski sempat dilanda kekhawatiran karena belum mendapat kepastian diterima di ITB, Ciputra akhirnya lolos seleksi dan diterima di jurusan arsitektur. Rasa lega itu berubah menjadi kebahagiaan yang meluap-luap. Sebagai anak perantauan, Bandung memberinya pelukan hangat yang tak terduga.

"Hebat sekali kota ini bisa sekejap membuat saya betah," kenangnya.

Namun bagi Ciputra, pengalaman itu lebih dari sekadar adaptasi di kota baru. Keindahan arsitektur Bandung membakar semangat kreatif dalam dirinya.

Rumah-rumah dan gedung-gedung bergaya Belanda yang anggun tidak hanya menyenangkan mata, tapi juga menginspirasi jiwa mudanya. Di sanalah cita-citanya tumbuh, yakni menjadi arsitek hebat, berkarya nyata, dan mandiri secara finansial.

“Aura Bandung yang cantik sangat menggugah jiwa kreatif saya. Bangunan-bangunan buatan Belanda yang begitu indah, rumah- rumah maupun perkantoran sungguh menginspirasi saya untuk bisa melakukan sesuatu. Saya ingin selekasnya bisa bekerja konkret sebagai arsitek. Ingin cepat berkarya dan menghasilkan uang,” tutur Ciputra.

ITB, Tempat Dimana Impian Ciputra Bertumbuh

Sesampainya di kampus, Ciputra tak hanya terpukau oleh keindahan fisiknya, tetapi juga terdorong untuk memahami lebih dalam sejarah tempat ia akan menimba ilmu. Ia segera mengetahui bahwa kampus yang kini disebut Institut Teknologi Bandung (ITB) memiliki perjalanan sejarah yang panjang dan berliku, sejalan dengan pergolakan sejarah bangsa Indonesia.

Didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1920, kampus ini awalnya bernama Technische Hoogeschool te Bandoeng. Nama ini bertahan hingga tahun 1942, sebelum Jepang menduduki Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang, kampus ini sempat ditutup dan kemudian dibuka kembali tahun 1944 dengan nama Bandoeng Koogyo Daigaku.

Setelah kemerdekaan, perubahan nama kampus terjadi berkali-kali, mencerminkan dinamika politik dan pendidikan saat itu. Kampus ini pernah menyandang nama-nama seperti Sekolah Tinggi Teknik Bandung, Technische Faculteit, Nood-Universiteit van Nederlandsch Indie (1946), hingga Faculteit der Exacte Wetenschap Universiteit van Indonesie te Bandoeng (1947).

Baru pada tahun 1950, kampus ini menjadi bagian dari Universitas Indonesia dengan nama Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam Universitas Indonesia di Bandung.

“Ketika saya datang, inilah nama kampusnya. Kelak, pada tahun 1959, barulah nama Institut Teknologi Bandung diresmikan. Saya menyebutnya ITB saja,” tukas Ciputra.

Baca Juga: Jejak Perjuangan Masa Muda Ir. Ciputra: Dari Gorontalo Menuju Jawa Menembus Batas Nasib