Bagi Ir. Ciputra, pendiri Ciputra Group, setiap proyek memiliki tantangannya sendiri. Namun, ketika membangun Dunia Fantasi (Dufan) di Ancol, Jakarta, tantangan itu berubah menjadi sebuah hiburan yang mengasyikkan dan membangkitkan kreativitasnya secara luar biasa.

“Kami bekerja luar biasa keras. Target saya, Dunia Fantasi harus sudah dibuka pada pertengahan 1985. Ini proyek yang luar biasa,” papar Ciputra, dalam buku biografinya yang bertajuk The Passion of My Life karya Alberthiene Endah, sebagaimana dikutip Olenka, Senin (7/7/2025).

Kala itu, dengan dedikasi yang tinggi, Ciputra turun langsung mengecek setiap detail pembangunan taman hiburan tersebut.

Baginya, menciptakan Dufan berbeda dengan proyek-proyek sebelumnya, seperti Proyek Senen atau perumahan yang lebih menekankan fungsi bangunan. Dufan, bagi dia, menuntut imajinasi, inovasi, dan fantasi tanpa batas.

“Berbeda dengan mengerjakan Proyek Senen atau proyek perumahan, membuat Dunia Fantasi seperti mengaduk-aduk fantasi saya,” tukasnya.

Tidak hanya memimpin rapat berjam-jam dalam sehari, ia juga terlibat aktif dalam menghitung biaya konstruksi hingga merancang berbagai wahana hiburan, yang justru memberinya keasyikan tersendiri.

“Kali ini saya bahkan bisa tertawa terbahak-bahak saat merancang berbagai wahana hiburan,” ujar Ciputra.

Ciputra mengakui, proses pembangunan Dunia Fantasi tidak akan berhasil tanpa tim hebat yang mendampinginya. Ia menyebut dua nama penting di balik kesuksesan Dufan, yakni arsitek Aryanto dan staf gesit Ir. Agustinus Teddy Darmanto. Dengan kerja keras mereka, Dufan lahir menjadi taman hiburan kebanggaan Indonesia.

“Harus saya katakan, proses pembangunan Dufan sangatlah menghibur saya.Tanpa mereka, tidak ada Dunia Fantasi yang seperti sekarang,” tegas Ciputra.

Ketika Impian Besar Terwujud di Tengah Keterbatasan

Membangun Dunia Fantasi (Dufan) bukanlah proyek mudah bagi Ciputra dan timnya. Dengan keterbatasan dana, mereka harus berjuang keras untuk mewujudkan taman hiburan impian Indonesia tersebut.

“Walau kami terengah-engah berjalan dengan dana yang sangat cekak, toh akhirnya kami bisa menyelesaikan Dufan dengan wahana-wahana awal yang kami anggap memadai,” ungkapnya.

Sebagai maskot, mereka memilih bekantan, primata khas Kalimantan yang unik dengan hidung panjangnya. Tahun 1984, Dufan telah berdiri dengan berbagai wahana yang kala itu dianggap spektakuler, seperti Halilintar, Kora-Kora, Balada Kera, Istana Boneka, Niagara, Untang-Anting, Rumah Kaca, Bianglala, dan banyak lagi.

“Betapa puasnya hati saya. Wahana permainannya begitu indah dan menarik dengan tata letak yang rapi,” terang Ciputra.

Namun, Ciputra menekankan satu hal penting kepada seluruh pengelola agar selalumerhatikan kebersihan.

“Tempat ini sudah begitu indah. Jangan dirusak dengan sampah yang berceceran. Saya ingin Dufan bersih di segala lini. Sampai ke toilet pun harus bersih,” tegasnya.

Ia lantas mengatakan, tantangan besar datang ketika wahana Balada Kera terbakar akibat hubungan pendek listrik. Kepanikan melanda tim, mengingat biaya pembangunan wahana tersebut tidak sedikit, sementara jadwal pembukaan sudah ditetapkan.

“Kami semua stres berat. Terbayang harus membangun lagi wahana yang cukup luas dan berbiaya tinggi itu. Tapi kami optimis dan pantang menyerah,” paparnya.

Ciputra pun kala itu segera menunjuk Ir. Hengky Wijaya, lulusan ITB yang sejak 1981 terlibat dalam proyek Dufan, sebagai komandan pemulihan. Dengan kerja keras tanpa henti, pembangunan ulang Balada Kera selesai tepat waktu. Dufan akhirnya resmi dibuka pada tahun 1985. Dan, yang terjadi setelahnya, sungguh di luar ekspektasi.

“Jangan ditanya bagaimana gelombang pengunjung yang datang. Membludak! Jakarta seperti kalap untuk menyambangi Dufan. Bahkan masyarakat dari berbagai daerah datang menyambut dan berjubel di tempat rekreasi ini. Bukan main! Sensasional,” ungkapnya.

Melihat ribuan orang menikmati wahana yang dirancangnya, Ciputra merasa terharu.

“Saya terkesima, antara mau tertawa dan menangis haru melihat ribuan orang riuh di dalamnya. Ini suatu fenomena baru bagi saya yang biasanya membuat bangunan atau properti,” ujarnya.

Baca Juga: Kisah Ciputra Membangun Ancol dan Dufan dari Nol, Berawal dari Rencana Gila Jadi Ikon Kota

Obat Trauma Masa Kecil Ciputra

Bagi Ciputra, Dunia Fantasi bukan sekadar proyek taman hiburan biasa. Di balik setiap wahana dan tawa pengunjungnya, tersimpan kisah pribadi yang mendalam dari sang maestro properti Indonesia ini.

“Melihat kebahagiaan orang-orang di dalamnya, dewasa hingga kanak-kanak, tertawa, hati saya tersentuh. Entahlah, saya tiba-tiba teringat masa kecil saya yang sunyi dan kelabu,” tukasnya.

Ciputra mengaku, masa kecilnya diliputi kesunyian dan warna hidup yang kelabu. Saat melihat tawa anak-anak di Dufan, ia menyadari ada dorongan misterius dalam dirinya untuk menghadirkan taman hiburan tersebut bagi masyarakat.

“Ya, sesungguhnya saya berusaha mengobati trauma masa kecil saya yang menyedihkan dengan menggarap Dufan yang begitu sarat keriangan,” bebernya.

Begitu cintanya Ciputra pada Dufan, hingga ia meminta dibuatkan ruang kantor pribadi di sana. Hampir setiap saat ia datang, hanya untuk sekedar melihat pengunjung tertawa gembira menikmati berbagai wahana yang dibangunnya dengan penuh perjuangan.

“Saya sering menyambangi Dufan dan asyik memperhatikan kegembiraan pengunjung,” tuturnya.

Bagi Ciputra, keberhasilan mewujudkan Dufan adalah sumber syukur yang luar biasa. Tidak hanya karena mimpinya terwujud, tetapi karena ia dan tim berhasil melintasi berbagai kesulitan yang mengiringi proses pembangunan.

“Satu rasa syukur kembali saya rasakan. Betapa indahnya ketika suatu mimpi berhasil dicapai. Dan menjadi lebih indah ketika menyadari bahwa kami bisa merealisasikan itu setelah melintasi banyak kesulitan,” terangnya.

Ia punmenegaskan, impian tidak akan pernah terwujud jika hanya diperlakukan sebagai impian semata.

“Makin sadarlah saya, mengejar impian memang butuh perjuangan. Impian hanya tinggal impian jika kita menganggapnya hanya sebagai Impian,” ujarnya.

Impian Ciputra untuk Ancol

Kawasan Ancol yang kita kenal hari ini sebagai pusat hiburan dan rekreasi terbesar di Indonesia, tidak lahir begitu saja. Di balik kejayaannya, ada mimpi besar dan kegigihan seorang ICiputra yang berhasil mengubah kawasan rawa gelap menjadi destinasi penuh tawa dan kehidupan.

“Ketika menatap jejalan pengunjung yang berkeringat senang di sana, saya membatin, apa jadinya jika dulu saya tidak memperjuangkan pada Ali Sadikin untuk mengerjakan Proyek Ancol? Mungkin, belum tentu kita semua bisa menikmati Ancol yang kita kenal sebagai kawasan rekreasi,” bebernya.

Seiring berjalannya waktu, Ancol terus bertumbuh dan mengikuti perkembangan zaman. Wahana-wahana Dunia Fantasi (Dufan) bertambah, dan tujuan rekreasi di Ancol semakin beragam. Di era 1990-an, mereka membangun Sea World, hasil kolaborasi dengan Lippo Group, yang menghadirkan pengalaman edukasi dan hiburan bawah laut pertama di Indonesia.

Tidak hanya itu, nama badan usaha Ancol pun berubah seiring perkembangan. Di era Gubernur Soerjadi Soedirdja, BP3 Ancol resmi menjadi PT Pembangunan Jaya Ancol, dengan pembagian saham 80% untuk Pemda DKI Jakarta dan 20% untuk Jaya Group.

Namun, semua itu berawal dari sebuah tekad yang muncul ketika Ciputra masih muda. Ia mengingat betul saat pertama kali menyusuri jalan di kawasan Ancol yang kala itu hanyalah hutan rawa gelap dan mencekam.

“Saya teringat saat mobil Jeep saya melintasi jalanan Ancol di depan rimbun hutan rawa yang gelap dan mencekam. Ketika itu, suara hati saya tercetus keras, ‘Akan kubangun kau, kawasan menakutkan’,” ungkap Ciputra.

Dan suara hati itu menjadi nyata. Dengan kerja keras puluhan tahun, mimpi Ciputra terwujud. Ia berhasil mengubah kawasan yang dulunya menakutkan, menjadi taman hiburan, kawasan rekreasi, dan ruang kebahagiaan bagi jutaan orang.

“Dream comes true, walau harus memakan waktu puluhan tahun," tuturnya.

Baca Juga: Kisah Ciputra Mengubah Rimba Ancol Menjadi Ikon Jakarta

Belajar Menjadi Pemimpin dan Suami

Perjalanan Ciputra mewujudkan mimpinya di Ancol bukan hanya menempanya sebagai seorang pengusaha besar, tetapi juga mengajarkannya tentang kepemimpinan dan keluarga.

“Perjuangan saya mewujudkan mimpi di Ancol makin menempa saya dalam pembelajaran sebagai pemimpin. Berbagai persoalan mendewasakan saya,” ujarnya,

Di tengah kesibukan luar biasa, Ciputra merasa bersyukur karena memiliki keluarga yang selalu mendukung dan mendoakannya.

“Sangat saya syukuri bahwa sepanjang saya bekerja keras dari pagi hingga malam, keluarga saya dengan tenang mendoakan dan mendukung,” tukasnya.

Di rumah Jalan Talang, Pegangsaan, sang istri, Dee, mengurus keempat anak mereka dengan penuh ketenangan. Ibunya pun merasa tenteram tinggal bersama mereka. Tak lama, Ciputra berhasil membangun dua rumah modern di bilangan Slipi, satu untuk dirinya dan satu untuk rekan kerjanya, RAB Massie.

“Lega hati saya bisa membuatkan rumah bagi Dee dan anak-anak. Rumah kami sendiri. Tidak mengontrak dan bukan rumah dinas,” terangnya.

Namun, di balik semua keberhasilan itu, Ciputra mengakui bahwa masa-masa tersebut tidaklah mudah bagi Dee, istrinya. Kesibukan kerja dan tekanan proyek sering membuatnya menjadi suami dan ayah yang keras di rumah.

“Harus saya akui itu. Kesibukan saya yang luar biasa dan emosi saya karena terpengaruh berbagai persoalan kerja sering membuat saya menjadi laki-laki yang tidak menyenangkan di rumah,” bebernya.

Ia sadar, ia sering bersikap galak kepada anak-anaknya. Fokusnya terlalu banyak tersedot ke proyek, menjadikannya suami yang menurutnya egois. Namun, Dee tetap menjadi sosok luar biasa yang meneduhkan keluarga.

“Tapi Dee adalah perempuan yang luar biasa. Ia bersikap wajar saja dan sangat manis. Ia menyediakan makanan enak untuk saya dan menghadirkan senyumnya yang tak pernah berubah,” paparnya.

Bagi anak-anaknya yang takut pada ayah mereka yang keras, Dee adalah pelindung dan peneduh jiwa. Sementara bagi Ciputra sendiri, Dee adalah sandaran dalam diam, di balik perjuangannya membangun proyek-proyek besar tanpa mau gagal.

“Ia adalah peneduh jiwa bagi anak-anak yang mungkin takut melihat ayah mereka yang galak. Ayah yang tak mau gagal dalam proyek-proyeknya,” tukasnya.

Penyesalan dan Cinta Ciputra untuk Keluarga

Ketika menatap ke belakang, Ciputra tak hanya melihat deretan proyek besar dan keberhasilan yang menempatkannya sebagai salah satu tokoh properti terbesar di Indonesia. Ia juga melihat satu hal yang paling berarti dalam hidupnya, yakni keluarga.

“Pada hari ini jika saya mengingat itu, senyum saya mengembang. Bercampur sedih juga. Betapa sebetulnya ada jiwa-jiwa berjasa di balik keberhasilan saya membangun ini dan itu. Tak lain adalah kesabaran Dee dan ketabahan anak-anak,” papar Ciputra.

Kesibukannya membangun berbagai proyek legendaris memang menyita hampir seluruh waktunya. Dan ketika ia menoleh pada masa itu, ada satu penyesalan yang muncul.

“Jika saya bisa kembali ke masa itu, saya ingin merevisi sikap saya. Ingin saya peluk anak-anak berlama-lama dan mengatakan kepada mereka bahwa sebetulnya saya sangat mencintai mereka,” aku Ciputra.

Baginya, semua kerja keras itu memiliki satu tujuan mulia, yakni memastikan anak-anaknya tidak mengalami kesengsaraan seperti yang ia rasakan saat kecil. Ia ingin mereka tumbuh dalam kehidupan yang layak dan penuh martabat.

“Bahwa saya bekerja membanting tulang karena dorongan cita-cita yang besar, demi kebaikan mereka juga. Saya tak ingin anak-anak sengsara seperti saya di masa kecil,” ungkapnya.

Ciputra menyadari, di balik setiap kesuksesan yang diraihnya, ada nama-nama yang tidak boleh dilupakan. Mereka bukan hanya keluarganya, tetapi juga pilar kekuatan hidupnya.

“Jadi, jika menyebut proyek-proyek legendaris yang saya buat, saya juga harus menyebut nama Dee, Rina, Junita, Candra, dan Cakra. Merekalah orang-orang berjasa di balik sepak terjang saya,” tandasnya.

Baca Juga: Pelajaran Hidup Ciputra dari Proyek Senen: Kesuksesan Besar yang yang Menorehkan Luka Batin