Pada tahun 1984, Founder Ciputra Group, Ir. Ciputra memiliki mimpi besar, yakni membangun BSD bukan sekadar menjadi kota satelit, melainkan kota mandiri yang sanggup menopang kehidupan warganya secara utuh.

Saat itu, ia pun menugaskan menantunya, Budiarsa, untuk fokus menangani BSD, mulai dari persiapan pembangunan hingga pembebasan lahan tambahan di sekitar perkebunan agar wilayah proyek semakin luas. Dua tahun berselang, Budiarsa diangkat menjadi General Manager BSD. Membangun kota sebesar BSD tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dan, sejak awal, Ciputra menyadari hal ini.

“BSD harus menjadi kota mandiri. Bukan sekadar kota satelit yang masih bergantung pada kota induk. Kelak orang tak perlu beranjak dari kota ini untuk melaksanakan hajat hidup keseluruhan. Mereka bisa bersekolah di sini, bekerja di sini, mencari hiburan di sini, dan berbelanja di sini. Semua lengkap,” tutur Ciputra, dalam buku biografinya yang bertajuk Ciputra: The Entrepreneur, The Passion of My Life, karya Alberthiene Endah, sebagaimana dikutip Olenka, Selasa (22/7/2025)

Namun, kata Ciputra, untuk mewujudkan impian tersebut, diperlukan modal besar. Maka kata dia, Budiarsa pun dengan gigih berjuang agar bank mau menyalurkan pinjaman. Tentu ini bukan perkara mudah. Kala itu, bahkan pihak bank masih meragukan prospek BSD.

Meski begitu, keuletan dan kegigihan Budiarsa membuahkan hasil. Akhirnya, Bank BNI dan BRI bersedia mengucurkan dana dalam jumlah fantastis, yakni Rp 72 miliar yang menjadi fondasi awal pembangunan BSD. Dana tersebut digunakan untuk membangun sarana dasar dan infrastruktur yang akan menarik lebih banyak investor di masa depan.

“Budiarsa dengan gigih memperjuangkan agar pinjaman bank bisa mengucur. Ini sama sekali tidak mudah karena bahkan bank saja masihmeragukan prospek BSD. Tapi, keuletan Budiarsa akhirnya membuakan hasil,” papar Ciputra bangga.

Dijelaskan Ciputra, membangun BSD tidak hanya menuntut dana besar, tetapi juga keberanian untuk menantang stigma. Di tahun-tahun awal pengembangan, kata dia, Budiarsa pun kerap dilanda kegelisahan.

Hampir setiap malam, ia berdiskusi dengan dirinya di rumah, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa BSD akan dianggap sebagai kawasan terpencil tanpa gengsi. Namun, Ciputra menenangkan dan menyemangatinya.

“Saya menyemangatinya. Sudah ada contoh kawasan terpencil bisa dihidupkan. Pondok Indah semula juga hanya bentangan kebun karet dan ladang kering. Citra Garden di Kalideres adalah sudut tak terjamah yang sering dibilang tempat jin buang anak. Dan Bintaro? Siapa yang peduli dengan Bintaro sebelum kami membangun di sana. Semua bisa berubah,” terang Ciputra.

Baca Juga: Kisah Lahirnya BSD City dan Peran Menantu Ciputra yang Bercahaya

Upaya Budiarsa Mengangkat Nama BSD

Dikatakan Ciputra, Budiarsa pun berjuang mati-matian agar masyarakat mau menatap BSD sebagai kawasan masa depan. Saat launching pada 1989, ia berupaya keras mengundang sejumlah menteri. Bagi Budiarsa, kehadiran para tokoh penting menjadi bentuk pengakuan bahwa BSD memang memiliki prospek cerah.

Lebih lanjut, Ciputra mengatakan bahwa ketika itu, Ciputra Group sudah berhasil menguasai hampir 2.000 hektare lahan, sebuah luas wilayah yang fantastis untuk sebuah proyek kota mandiri.

Kehadiran para menteri pun memberi dampak besar. Media massa mulai memberitakan BSD sebagai kawasan di Tangerang yang memiliki masa depan menjanjikan.

“Para Menteri yang diundang hadir dan itu sangat melegakan kami. Media massa mau menuliskan sesuatu yang meyakinkan masyarakat. Bahwa ada Kawasan di Tangerang yang memiliki masa depan sangat cerah,” beber Ciputra.

Menurut Ciputra, Budiarsa pun tidak berhenti di sana. Ia sadar, salah satu kunci menarik minat masyarakat untuk tinggal adalah kehadiran sekolah-sekolah ternama. Maka, ia pun mengundang lembaga pendidikan terbaik untuk membuka cabang di BSD.

Kata Ciputra, ini jelas bukan tugas ringan. Sekolah-sekolah tersebut memiliki pertimbangan panjang sebelum memutuskan ekspansi. Namun, kegigihan Budiarsa membuahkan hasil. Sekolah Al Azhar dan Santa Ursula akhirnya bersedia membuka cabang di BSD setelah proses maju mundur dan bolak-balik meninjau lokasi.

Tak hanya pendidikan, lanjut Ciputra, Budiarsa juga berusaha meningkatkan gengsi BSD melalui kehadiran lapangan golf kelas dunia. Pada 1987, ia bahkan nekat terbang ke Amerika Serikat untuk bertemu langsung dengan Jack Nicklaus, pegolf legendaris yang juga dikenal sebagai desainer lapangan golf internasional.

Dikatakan CIputra, Jack Nicklaus terkenal selektif dalam memilih lokasi proyek. Ia hanya bersedia jika benar-benar terkesan dengan wilayah yang ditawarkan.

“Jack tidak mudah mengangguk untuk bersedia merancang lapangan golf, kecuali jika ia benar-benar terkesan pada wilayah yang akan ia garap,” tukasnya.

Baca Juga: Berita dari Amerika yang Mengubah Citra Ciputra

Kisah Lapangan Golf BSD dan Keberanian Budiarsa

Bagi Ciputra, mimpi besar adalah awal dari semua pencapaian. Ia selalu percaya, impian setinggi apa pun layak diperjuangkan. Begitu pula saat ia menyaksikan mimpi tinggi sang menantu, Budiarsa, dalam membangun BSD.

“Mimpi Budiarsa begitu tinggi. Namun, saya salut karena ia merawat mimpi itu. Sama seperti saat saya membangun lapangan golf di Pondok Indah atas bantuan Robert Trent Jones Jr. Mimpi itu toh jadi kenyataan. Jadi, saya tidak meremehkan mimpi Budiarsa,” tutur Ciputra.

Saat itu, Budiarsa memiliki keinginan besar untuk menghadirkan lapangan golf bertaraf internasional di BSD, demi menaikkan gengsi kawasan dan menarik perhatian publik. Ia pun memboyong istri dan anak-anaknya ke Amerika Serikat.

Rina, istri Budiarsa serta anak-anak mereka diantar lebih dulu ke Hawaii. Setelah memastikan keluarganya nyaman, Budiarsa melanjutkan perjalanan menuju Palm Beach, tempat Jack Nicklaus berada.

Dengan tekad kuat, Budiarsa mencoba menemui Jack Nicklaus tanpa janji terlebih dulu. Namun, ia hanya berhasil bertemu dengan Vice President of Marketing perusahaan Jack. Kepada sang VP, Budiarsa menjelaskan mimpinya membangun lapangan golf di BSD. Sang VP sempat tertawa kecil mendengar keberanian Budiarsa, namun ia berjanji akan mengusahakan pertemuan tersebut.

Hari pertama gagal. Hari kedua, Budiarsa hanya dipertemukan dengan Senior Vice President. Meski demikian, ia tidak menyerah. Pada hari ketiga, akhirnya kesempatan itu tiba. Budiarsa berhasil bertemu langsung dengan Jack Nicklaus.

Dengan menepis rasa gugup, Budiarsa menjelaskan dengan gamblang tentang BSD, ribuan hektare lahan yang sedang dibangun menjadi kota mandiri, dan pentingnya kehadiran lapangan golf kelas dunia untuk menumbuhkan reputasi kawasan tersebut. Ia juga menceritakan perjuangan Ciputra Group mengubah lahan kebun karet menjadi sebuah kota masa depan.

Penjelasan Budiarsa ternyata membuat Jack Nicklaus terkesima. Ia mengangguk tanda setuju, sebuah jawaban yang membuat Budiarsa nyaris tak percaya. Jack menyatakan kesediaannya membantu merancang lapangan golf di BSD dan menunggu kesepakatan resmi segera.

“Saat itu, Budiarsa juga bercerita tentang perjuangan kami mengubah lahan bekas kebun karet menjadi sebuah kota masa depan. Jack rupanya terkesima dengan penjelasan Budiarsa,” terang Ciputra.

Selepas dari situ, Budiarsa pun pulang ke Tanah Air dengan hati penuh sukacita. Lapangan golf impian itu akhirnya dibangun dengan Jack Nicklaus sebagai arsiteknya. Lapangan tersebut diberi nama Damai Indah Golf, dan selesai dibangun pada tahun 1992.

Ciputra mengakui, lapangan golf itu menjadi salah satu faktor penting yang menghidupkan BSD. Para pegolf dalam dan luar negeri berdatangan. Nama BSD pun semakin bergema di Indonesia sebagai kota mandiri bergengsi.

“Bukan main. Saya harus menyatakan salut pada Budiarsa. Lapangan golf itu pada akhirnya memang berhasil mengundang decak kagum publik dan menghidupkan BSD. Para pegolf dalam dan luar negeri berdatangan. Nama BSD semakin menggaung,” ungkap Ciputra bangga.

Baca Juga: Kisah Ciputra: Ubah Cengkareng yang Terpencil Jadi Kawasan Properti Idaman

Integritas, Kerendahan Hati, dan Seni Mengembangkan Kota

Bagi Ciputra, membangun BSD adalah perjalanan panjang penuh mimpi, strategi, dan seni kepemimpinan. Salah satu sosok penting di balik pengembangan BSD adalah Budiarsa, yang kemudian dipercaya menjadi Presiden Direktur.

Awalnya, tanggung jawab besar ini sempat membuat Budiarsa panik. Ia merasa dirinya bukan siapa-siapa. Namun, para pemegang saham memiliki keyakinan kuat bahwa Budiarsa adalah orang yang tepat untuk menjaga dan mengembangkan BSD ke arah yang lebih maju.

Kepercayaan besar itu dijalankan Budiarsa dengan penuh kehati-hatian dan kerendahan hati. Inilah yang membuat Ciputra menaruh rasa hormat tinggi kepadanya.

“Ia begitu rendah hati. Jabatan tinggi tidak diartikan sebagai posisi yang bisa membuatnya semena-mena. Tapi justru ia semakin menghargai seluruh tim dan selalu menyertakan pendapat dari berbagai pihak sebelum membuat Keputusan,” kata Ciputra.

Sebagai mentor sekaligus mertua, Ciputra memberi arahan strategis kepada Budiarsa untuk membangun BSD dengan langkah-langkah yang penuh perhitungan. Ia menasihati agar pembangunan tidak dilakukan secara gegabah dengan membangun rumah-rumah besar terlebih dulu.

Sebaliknya, mulailah dari rumah sederhana dan kecil, agar mudah terjual dan menumbuhkan keramaian di kawasan tersebut. Ketika kawasan mulai hidup, maka segmen menengah atas pun akan mulai melirik dan mencari rumah yang sesuai dengan gaya hidup mereka.

“Mengembangkan suatu wilayah itu adalah sebuah seni,” kata Ciputra kepada Budiarsa.

“Kita harus menghayati, mengenali, dan bersinergi harmonis dengan lahan. Kita sangat perlu memiliki visi masa depan dan meyakini itu. Namun, lakukan langkah dengan penuh perhitungan dan kecerdikan. Integritas dan kedisiplinan akan sangat membantu melancarkan usaha kita. Namun, jiwa entrepreneur juga dibutuhkan,” sambung Ciputra.

Ciputra pun mengingatkan Budiarsa pada pengalamannya membangun Ancol. Karena keterbatasan dana, ia menjual kavling sebelah barat untuk industri dan kavling sebelah timur untuk perumahan, sebelum akhirnya membangun pusat rekreasi di bagian tengah.

“Itulah entrepreneurship. Kita harus memutar otak dan kreatif memecahkan masalah untuk mencapai tujuan,” ujarnya.

Memasuki pertengahan dasawarsa 90-an, Budiarsa juga disibukkan dengan tanggung jawab di perusahaan keluarga, PT CHI, yang saat itu telah berubah nama menjadi Ciputra Development setelah masuk bursa saham. Bersama Ciputra, mereka menggarap proyek besar lainnya, Citra Raya di Cikupa.

Karena merasa harus fokus mendukung perusahaan keluarga, Budiarsa mengajukan pengunduran diri dari jabatannya sebagai Presiden Direktur BSD. Namun, para pemegang saham BSD, termasuk Salim Group dan Sinar Mas, menolak permohonan itu. Mereka yakin, Budiarsa mampu menangani kedua perusahaan sekaligus.

Saat itu, Budiarsa sempat berkata kepada Ciputra.

“Papi, saya hanya tidak mau merusak nama Papi. Saya berusaha bekerja baik karena mengusung nama Papi. Terlebih di BSD ada beberapa pengusaha yang terlibat di dalamnya. Kini izinkan saya fokus mengurus perusahaan keluarga. Sudah cukup saya turut membesarkan BSD,” terang Ciputra seraya menirukan perkataan Budiarsa kala itu.

Mendengar itu, Ciputra pun hanya menjawab dengan bijak.

“Jika kau dipercaya untuk menjadi Direktur Utama di dua perusahaan, jalankan saja, Budiarsa. Anggap kepercayaan itu sebagai sebuah kehormatan untukmu. Jalani pekerjaanmu dengan penuh integritas,” tandasnya.

Baca Juga: Kisah di Balik Keputusan Ciputra Meminta Anak-anaknya Merintis dari Nol dan Tak Langsung Mewarisi Konglomerasi