Usianya baru 16 tahun kala itu, tetapi pengalaman hidup Ciputra bukanlah pengalaman biasa yang dilalui remaja seusianya. Meninggalkan kenangan rumahnya yang nyaman dan berjuang tanpa sang ayah yang telah meninggal dunia, Ciputra harus menempuh sekali lagi perjalanan hidupnya di Gorontalo.
Di perjalanan menuju Gorontalo di atas Kapal Zwarte Hond tahun 1947, remaja kurus itu tampak menyedihkan dengan sepatu yang kebesaran. Orang-orang yang menatapnya seakan memandangn miris. Ciputra lantas mengenang masa kecilnya yang tidak mudah. Dia masih haus kasih sayang dan petunjuk sang ayah, tetapi keadaan memaksanya melangkah sendiri menuju kehidupan dewasanya.
Baca Juga: Kisah Ciputra: Memenangkan Pertarungan Melawan Diri Sendiri
"Keadaan memaksa saya untuk menjadi kuat. Keadaan mendorong saya untuk bekerja kasar di kebun. Keadaan pula yang membuat saya harus berlarian di hutan, menembus semak belukar yang berduri, mengacungkan tombak, memerintah anjing saya untuk berlari, memburu babi. Saya menjadi anak alam," kenangnya, dalam autobigrafi Ciputra, dikutip Senin (9/6/2025).
Dia menyebut, "Saya seperti tercabut dari kehidupan yang indah. Karena itulah, saya terbentuk dengan dua karakter yang tajam: tangguh dan perasa. Ada yang sangat kuat dalam diri saya, sekaligus juga ada yang rapuh."
Lelaki yang di masa tuanya disapa Pak Ci itu kembali menuju rumah sang kakek, Engkong, yang juga telah berpulang. Di rumah Engkong, nenek tiri Pak Ci menyuruhnya tinggal bersama Ci Tiem, anak Tante Tjeng Sioe yang dulu mengurusnya di rumah itu pada usia enam hingga delapan tahun. Pada akhirnya, Ciputra remaja tinggal bersama Ci Tiem dan suaminya di rumah mereka yang berada di tepian Gorontalo.
"Saya diberi tempat di sebuah kamar yang berada di kolong rumah panggung itu. Cukup layak. Kamar berukuran sedang itu sudah dilengkapi dengan tempat tidur dan meja yang sederhana. Sudah lebih cukup untuk saya," kenang pria kelahiran 24 Agustus 1931 tersebut.
Mulai saat itu, dimulailah kehidupan Nyong, panggilan Ciputra saat itu, menjadi siswa SMP. Hampir tidak bisa masuk sekolah karena masa pendaftaran telah berakhir, Nyong berhasil menjadi siswa SMP di usia 16 tahun, dua tahun lebih tua dibanding rata-rata usia siswa SMP yang lain. Keberhasilan Nyong bersekolah di SMP Gorontalo tersebut dibantu oleh Ci Loan, adik Ci Tiem, yang melobi sang kepala sekolah untuk membolehkannya masuk meski masa pendaftaran telah berakhir.