Kementerian Ekonomi Kreatif turut buka suara terkait polemik film animasi Merah Putih: One for All. Film ini menuai kontroversi karena berbagai alasan, mulai dari kualitas visual yang dianggap amburadul hingga anggaran jumbo untuk menyokong pembuatan film tersebut.
Wakil Menteri Ekonomi Kreatif Irene Umar menegaskan, pihaknya sama sekali tidak terlibat dalam pembuatan film tersebut, dia mengatakan Kementerian Ekonomi Kreatif juga sama sekali tidak mendukung pendanaan pembuatan film tersebut. Adapun anggaran pembuatan film ini tembus Rp6,7 miliar.
"Kami tidak memberikan bantuan finansial dan tidak memberikan fasilitas promosi," kata Irene dalam keterangannya dilansir Selasa (12/8/2025).
Irene melanjutkan, peran Kementerian Ekonomi Kreatif dalam pembuatan film tersebut hanya sebatas menerima audiensi dari perwakilan tim produksi film animasi tersebut. Audiensi dilakukan beberapa waktu lalu setelah film tersebut panen kritik. Audiensi itu lanjutnya merupakan bentuk dukungan pemerintah atas karya anak bangsa.
"Saya sendiri menerima audiensi tim produksi film beberapa waktu yang lalu, di mana saya menyampaikan beberapa masukan," ujarnya.
Ia mengatakan audiensi tersebut merupakan bentuk dukungan dari pemerintah kepada pekerja kreatif. Irene pun mengatakan setiap orang bebas berkarya selama memberi dampak positif.
Irene melanjutkan, Kementerian Ekonomi Kreatif tidak memberikan bantuan apapun, termasuk anggaran dalam produksi film animasi Merah Putih: One for All itu.
"Kami tidak memberikan bantuan finansial dan tidak memberikan fasilitas promosi," kata dia.
Adapun Film Merah Putih: One for All ramai dikritik masyarakat karena kualitasnya yang dianggap sangat buruk dan tak layak layak tayang, dengan kualitas seperti itu banyak pihak yang merasa ganjil dengan total anggaran yang dikeluarkan untuk menggarap film tersebut. Kendati banjir kritik namun film ini tetap dijadwalkan tayang di bioskop pada Kamis, 14 Agustus 2025.
Salah satu pihak yang ikut mengkritik film ini adalah sutradara kawakan Hanung Bramantyo. Ia heran karena film tersebut bisa mendapat jadwal tayang di layar lebar saat ada ratusan judul film Indonesia lainnya justru mengantre untuk mendapatkan jadwal tayang.
"Kok bisa dapat tanggal tayang di tengah 200 judul film Indonesia yang antre?" kata dia.
Hanung juga menilai kualitas film tersebut masih berada di bawah standar industri film. Kualitas film yang di bawah standar itu terlihat dari trailer film yang seadanya.
"Kalau itu ditayangkan, sudah pasti penonton akan resisten,"ucapnya..
Baca Juga: Warisan Besar Ciputra untuk Generasi Muda Indonesia: Integritas, Profesionalisme, Entrepreneurship
Ia juga membandingkan biaya produksi pembuatan film. Hanung berujar bujet pembuatan film animasi di Indonesia biasanya berkisar Rp 30-40 miliar di luar biaya promosi. Sementara bujet produksi Merah Putih hanya Rp 6,7 miliar