Kemudian, dr. Tirta mengatakan, tipe lone wolf ini mungkin bisa berkembang di lingkungan usaha kecil atau rintisan (startup) yang masih dalam skala mikro. Tapi ketika masuk ke dalam struktur perusahaan besar, lone wolf justru menjadi potensi konflik yang serius.
“Bagus kalau levelnya UMKM, skala masih Rp3,5 miliar per tahun dan pegawainya baru lima. Tapi kalau skala korporat, big korporat, kalian harus tahu yang namanya teori gajah,” jelasnya.
“Semakin gajah besar, semakin sulit dia bergerak. Kalau kamu mau jadi lone wolf, gak apa-apa. Tapi di perusahaan yang kecil,” lanjut dr. Tirta.
Dalam perusahaan besar, dr. Tirta menekankan pentingnya soft skill seperti kemampuan berpolitik sehat, membangun relasi, dan menjaga solidaritas tim.
Kata dia, ketika seseorang tidak memiliki dukungan sosial di tempat kerja, risikonya menjadi sangat besar, terutama ketika berhadapan dengan ketidakadilan atau keputusan sepihak dari manajemen atas.
“Kalau di perusahaan besar, jangan jadi lone wolf. Anda harus berpolitik di perusahaan. Anda harus punya kawan. Kenapa? Kalau kamu dizolimi sama C-level, kamu dipecat secara tidak hormat, terus kamu lone wolf. Gimana kamu menuntut? Kalau kamu tidak punya teman di antara pegawai,” tegasnya.
Baca Juga: Sudah Lulus Cumlaude tapi Masih Menganggur? Simak Wejangan Dokter Tirta