Lanjut Sigit, skeptisisme terhadap strategi "bakar duit", yaitu praktik perusahaan memberikan subsidi besar atau potongan harga untuk menarik konsumen, yang sering dilakukan oleh bisnis online. Maksudnya adalah, ada keraguan dari banyak pihak mengenai keinginan strategi ini, banyak yang merasa strategi “bakar duit” tidak bisa bertahan lama atau berkelanjutan.
Para pakar ekonomi dan pihak lain kerap mengkritik strategi ini, dengan argumen bahwa perusahaan yang tidak dapat menawarkan harga murah tanpa bakar duit mungkin tidak cukup kompetitif. Namun, perusahaan yang mampu menawarkan harga murah dianggap bisa melakukannya karena mereka menggunakan strategi "bakar duit"
“Ketiga adalah ada yang memang pro. Nah kita lihat pasti satu tidak bertahan gitu jadi pikiran pertama adalah siapa yang bisa tahan napas paling panjang begitu dari perusahaan-perusahaan yang lain jadi pikiran kita mengencangkan ikat pinggang, mencari efisiensi, mempertahankan kita yang ada, dan akhirnya mencoba terus memperbaiki,” tutur Sigit.
Baca Juga: Bluebird Group Luncurkan Layanan Lifecare Taxi Khusus Difabel dan Lansia di Jakarta dan Bali
Kemudian perihal disrupsi regulasi. Menurut Sigit, ada ketimpangan regulasi dalam industri transportasi, antara tradisional dan bisnis online yang mulai bermunculan. Bisnis online dianggap sering kali bisa masuk pasar tanpa melalui persyaratan dan perizinan yang ketat, beda halnya dengan perusahaan transportasi konvensional yang harus memenuhi banyak aturan.
Kondisi ini menyebabkan pengemudi dan perusahaan tradisional merasa tertekan karena terbatas ruang geraknya, sementara bisnis online memiliki keleluasaan yang lebih besar. Hingga pada akhirnya, banyak perusahaan mendesak pemerintah untuk menyamakan regulasi yang ada.