Selama lima tahun terakhir, jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah kelas menengah turun dari 21,45% pada 2019 menjadi 17,13% pada 2024. Banyak pekerja gig atau pekerja tidak tetap dibandingkan pekerjaan formal berkaitan dengan turunnya jumlah kelas menengah. Kurangnya inovasi dalam industrialisasi membuat Indonesia berada dalam middle income trap.
Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB, Yorga Permana, mengatakan bahwa kelas menengah yang tumbuh tidak dapat eksis tanpa adanya akses terhadap pekerjaan yang baik atau stabil. Kurangnya kerja layak di Indonesia berakibat pada masyarakat yang bekerja sebagai pekerja gig. Beberapa masyarakat tetap bertahan menjadi pekerja gig karena tidak ada pilihan kerja lain.
Baca Juga: Alami Deflasi 4 Bulan Beruntun, Bagaimana Kondisi Perekonomian Indonesia?
“Dari perspektif Individu, kerja layak dapat membuat masyarakat keluar dari kemiskinan, mobilitas sosial naik ke kelas menengah; secara sosial ada eksternalitas positif; dan secara agregat jika membicarakan Indonesia naik kelas, Indonesia Emas, pertumbuhan 6-7%, maka kuncinya adalah banyak orang yang produktif dengan pekerjaan layak,” ujar Yorga dalam diskusi publik bertajuk “Kelas Menengah Turun Kelas”, Senin (9/9/2024).
Yorga menambahkan, ada sepuluh karakteristik menurut ILO Framework mengenai kerja layak yang terpenuhi seluruhnya di dalam kerja formal. Hal ini membuat pekerjaan layak semakin mendesak bagi kelas menengah. Sebab, pekerjaan layak membuat masyarakat kelas menengah stabil dan tidak turun kelas meskipun mengalami krisis.
Dalam lima tahun ke depan, Yorga berharap Gen Z bisa masuk ke dalam pekerjaan sektor formal. Industrialisasi menjadi salah satu solusi mengenai sektor yang harus dikaji dan didekati lebih detail. Hal ini dapat dijadikan acuan ke arah mana industrialisasi akan berjalan sesuai dengan mengutamakan prioritas. Acuan itu mempengaruhi dalam kebijakan pemerintah.
Berkenaan dengan hal ini, Direktur Pengembangan Big Data INDEF, Eko Listiyanto, mengatakan bahwa ada beberapa tantangan dalam mencapai Indonesia Emas karena belum ada inovasi dalam industrialisasi yang bisa menjadi ikon Indonesia.
“Syarat untuk menjadi negara maju, yaitu investment-nya dan inovasi harus digenjot. Umumnya, cirinya adalah inovasi atau negara yang sangat kaya, seperti Arab Saudi yang kaya akan minyak. Sayangnya, Indonesia bukan di posisi yang seperti itu yang artinya harus mengandalkan inovasi,” ujar Eko, Senin (9/9/2024).
Eko menambahkan, hingga saat ini belum ada inovasi dari Indonesia yang dikenal dunia. Indonesia harus mengembangkan dan mendorong inovasi agar keluar dari middle income trap.
“Dalam perspektif regional atau spasial, kita tak bisa melakukan hilirisasi/industrialisasi tanpa melihat setiap potensi daerah. Ketika kita bicara industri bauksit, ketika kita bicara industri tekstil, industri alas kaki, kita harus mendalami daerah yang sebetulnya cocok untuk menjadi cluster ekonomi yang bisa mendukung bisnis tersebut,” lanjut Yorga menambahkan.