Tak banyak yang tahu, di balik kejayaan Ciputra Group berdiri kisah hidup seorang anak muda miskin dari Gorontalo yang berani bermimpi besar. Ir. Ciputra, yang juga seorang maestro properti Indonesia, nyatanya menjalani masa mudanya dengan penuh perjuangan, ditempa oleh kehidupan keras dan ketekunan tanpa batas.
Dalam biografi The Passion of My Life karya Alberthiene Endah, Ciputra pun menceritakan bahwa kisahnya bukan sekadar cerita sukses, melainkan inspirasi tentang daya juang, keyakinan, dan keberanian untuk melampaui batas-batas nasib.
Dalam buku biografinya tersebut, Ciputra menceritakan bahwa masa kecil dan remaja yang dijalaninya bukanlah masa yang mewah. Ia bekerja membantu di toko milik suami ibu angkatnya, Cie Tiem, seorang pedagang tangguh bernama Cao Hie. Dari sosok inilah Ciputra belajar arti ketekunan dan kerja keras.
“Cao Hie memberi saya inspirasi soal ketekunan. Saya belajar banyak darinya tentang bagaimana memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk fokus mengurusi pekerjaan. Ia tidak kenal lelah menyambangi kota-kota di Sulawesi dan pulau-pulau lain untuk memasarkan dagangannya. Saya sungguh menyerap banyak pelajaran berharga,” kenang Ciputra, sebagaimana dikutip Olenka, Sabtu (14/6/2025).
Namun, pelajaran penting tak hanya datang dari dunia dagang. Keluarganya, terutama kakaknya, Goat Beng, juga memberinya inspirasi. Goat Beng adalah perempuan yang mandiri dan pantang menyerah. Meski memiliki masa lalu penuh luka, ia tumbuh menjadi pribadi kuat yang justru menjadi penyemangat bagi Ciputra.
“Ia perempuan pemberani dan pantang menyerah. Saya tahu Ci Beng sedih dengan kenyataan tentang masa kanak-kanaknya. Anak perempuan yang diberikan pada orang lain. Namun, Ci Beng dengan lapang dada bisa menerima itu dan terus menjalani hidup dengan positif,” papar Ciputra,
“Saya sering katakan pada Ci Beng bahwa ia telah menjadi inspirasi buat saya. Betapa hebatnya perempuan-perempuan di keluarga saya. Mama dan Ci Beng adalah perempuan berhati tangguh,” tambahnya.
Setelah menyelesaikan SMP di Gorontalo dan meraih juara dua di kelasnya, Ciputra menetapkan tekad untuk melanjutkan SMA di Manado, kota terbesar di Sulawesi Utara saat itu.
Pada era 1950-an, melanjutkan pendidikan tinggi ke Pulau Jawa adalah mimpi mewah yang nyaris mustahil bagi remaja dari keluarga miskin. Tapi, Ciputra berbeda. Ia menolak menjadi pecundang. Ia ingin kuliah di ITB, jurusan arsitektur.
Sang ibu pun memberinya harapan dan dorongan bahwa ia sanggup membiayai sekolah Ciputra. Dan, itu menjadi titik tolak bagi Ciputra untuk menyalakan mimpi lebih besar lagi.
“Saya jelas miskin. Tapi saya tak mau menempatkan diri saya sebagai pecundang yang takut bermimpi. Mama sudah menyatakan sanggup untuk membiayai sekolah saya sampai SMA di Manado,” terang Ciputra.
“Dan, bagi saya itu kesempatan emas. Tuhan pasti memberikan jalan agar saya bisa merentangkan lagi impian selanjutnya. Impian pasti. Yakni, saya bisa kuliah di Pulau Jawa! Saya harus tinggal landas dari keadaan dunia saya yang terasa sempit,” sambungnya.
Baca Juga: Mengulik Potret Kecil Ir. Ciputra: dari Luka dan Trauma Menjadi Legenda Properti Indonesia
Hari-hari terakhir CIputra di Gorontalo pun diisinya dengan kenangan yang tak mudah dilupakan. Setiap pagi, ia masih rajin berlari menyusuri jalan-jalan kota sambil mengukir semangat dalam dada.
Ia menjaga toko dagangan milik keluarga Cao Hie, sosok yang mengajarinya etos kerja dan kedisiplinan. Ia juga masih menyempatkan diri berbincang dengan Goat Beng, sosok lainnya yang memberi warna dalam perjalanan hidupnya. Semua itu menjadi kenangan indah sebelum ia benar-benar hijrah ke Manado untuk membuka lembaran baru.
“Kadang saya juga mengobrol dengan Goat Beng. Semua ini akan saya tinggalkan seiring dengan rencana pasti saya untuk hijrah ke Manado. Ini kota yang sangat penting dalam sejarah hidup saya. Prestasi belajar, prestasi olahraga, dan kemandirian saya ditempa di kota ini,” papar Ciputra.
Seiring waktu, Ciputra pun lulus SMP dengan predikat juara dua. Kepala sekolahnya memberikan selamat dengan rasa bangga, bukan hanya karena prestasi akademiknya, tapi juga karena kontribusinya sebagai atlet sekolah.
“Terima kasih kau telah membanggakan kami dengan prestasimu sebagai siswa dan atlet,” kenang Ciputra atas ucapan kepala sekolahnya.
Saat ditanya apa rencananya setelah lulus SMA, Ciputra menjawab mantap, ia ingin masuk ITB, jurusan arsitektur. Bukan hanya tekad, tetapi keyakinan yang kuat mengiringi langkahnya. Ia tahu bahwa hidupnya tak akan berubah jika ia tidak berani mengambil lompatan besar.
“Saat ditanya tujuan saya setelah lulus SMA, saya menjawab masuk ITB Bandung jurusan arsitektur. Saya pun mengucapkan terima kasih padanya,” ujar Ciputra.
Bagi Ciputra, Gorontalo bukan hanya sekedar tempat ia belajar dan berprestasi, tapi juga kota yang menyemai imannya. Setelah memutuskan menjadi Kristen di Popaya, lingkungan gereja di Gorontalo menjadi bagian penting dalam perjalanannya. Meninggalkan kota itu bukanlah perkara mudah. Tapi, bagi Ciputra, impian tak boleh dikalahkan oleh rasa nyaman atau kenangan manis.
“Lingkungan gereja juga sempat memberatkan hati saya. Tapi, apa pun yang terjadi, saya harus melangkah pergi dari kota ini. Saya harus mengejar impian,” tandas Ciputra.
Baca Juga: Ciputra: Prestasi adalah Sumber Harga Diri