Dalam bagian inti kuliahnya, Ibas menguraikan enam prinsip kepemimpinan sejati. Pertama, kata Ibas, kepemimpinan harus bertumpu pada nilai, bukan sekadar gelar.
“Pemimpin dengan nilai, bukan sekadar gelar. Contohnya adalah pemimpin yang mengedepankan kepentingan umum dan rakyat serta tak takut mengakui kesalahan jika belum sesuai.”
Ia menegaskan, “Nilai adalah pondasi yang membentuk kepercayaan orang-orang di sekitar kita. Ketika nilai itu teguh, gelar atau jabatan menjadi berkah, bukan beban.”
Kedua, Ibas juga mendorong mahasiswa untuk memulai perubahan dari lingkungan sekitar. “Mulai dari lingkungan terkecil. Perubahan besar dimulai dari langkah kecil yang konsisten.”
Ia mencontohkan aksi sederhana yang bisa berdampak luas. “Jangan meremehkan kampus, keluarga, atau komunitas sekitar kita. Seperti pelajar yang memulai gerakan peduli lingkungan di kampusnya—memungut sampah, mengajak teman-teman menjaga kebersihan, yang akhirnya menular ke masyarakat luas. Di sini terletak pelajaran bahwa kepemimpinan dimulai dengan mengubah diri dan lingkungan terdekat.”
Ketiga, Ibas menyoroti pentingnya keseimbangan antara keberanian menyuarakan pendapat dan kemampuan mendengarkan. “Berani bersuara, siap mendengar. Suara tanpa dengar akan menjadi gaung kosong.”
Menurutnya, “Pemimpin harus berani menyampaikan pendapat, namun lebih penting lagi mampu mendengarkan suara lain.”
Ia menyayangkan maraknya polarisasi di era digital, “Di era digital ini, kita sering terperangkap dalam polarisasi, di mana kita hanya mendengar suara yang sejenis dengan kita—ini membuat kita kurang siap untuk berbagi, berkompromi, dan berkolaborasi.”
Karena itu, ia menyerukan, “Jadilah pemimpin yang mampu membangun jembatan antara perbedaan, bukan memperlebar jarak.”
Keempat, Ibas mengajak para mahasiswa untuk tidak takut gagal, dan menjadikan kegagalan sebagai bagian dari proses pembelajaran.
“Belajar dari gagal, bukan lari dari masalah. Kegagalan bukan akhir dari segalanya, melainkan awal dari pelajaran berharga. Kita harus berani menghadapi masalah dan membuat strategi baru dari kesalahan kita.”
Ia menegaskan, “Pemimpin yang hebat adalah yang tidak pernah menyerah, tapi terus melangkah dengan penuh semangat.”
Kelima, Ibas berbicara tentang pentingnya berpikir luas dan bertindak nyata. “Berpikir global dan bertindak lokal. Pemimpin harus memiliki wawasan luas, namun tindakannya harus memberi dampak nyata di lingkungan sendiri.”
Keenam, kepemimpinan harus disertai semangat melayani. “Berani memimpin, tapi tidak takut melayani. Pemimpin sejati berdiri di tengah masyarakat, bukan di atas mereka. Melayani adalah jiwa kepemimpinan yang sebenarnya.”
Menutup pesannya, Ibas memberi motivasi hangat kepada seluruh peserta: “Mahasiswa UNY, kalian adalah masa depan bangsa dan generasi pemimpin masa depan. Beranilah menjadi pemimpin yang memiliki berani, nurani, dan selalu membumi.”
Ia menekankan bahwa kepemimpinan bukan hanya tentang kritik, tetapi tentang aksi, “Bersama kita bangun masa depan gemilang. UNY Luar Biasa!”
Kehadiran Ibas dalam forum ini disambut dengan antusiasme tinggi. Para mahasiswa mengaku terinspirasi dan mendapatkan perspektif baru tentang kepemimpinan yang tidak elitis, melainkan membumi dan menggerakkan.
Salah satu peserta, Juan, menyampaikan apresiasi mendalam atas kesempatan ini.“Kedatangan Pak Ibas sebagai narasumber utama adalah kesempatan yang sangat luar biasa berharga, khususnya bagi kami mahasiswa FISIP UNY. Mengingat dunia sosial-politik yang sangat dinamis, Pak Ibas mampu mengasah dan memantik semangat kami untuk dapat menjadi manusia yang berdikari dan terus berupaya menjadi insan yang berkompeten demi menjaga stabilitas negara,” ujar Juan penuh semangat.