Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) ingatkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bahwa jangan sampai rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang tertera pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) menjadi ancaman bagi industri tembakau nasional.

Hal tersebut terkait sektor tembakau yang padat karya sehingga berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Parlemen juga menekankan pentingnya merangkul kepentingan banyak pihak dalam perumusan kebijakan, bukan justru membuat aturan semena-mena yang dapat menciderai kehidupan pekerja tembakau.

Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, mengatakan bahwa pemerintah perlu melihat kontribusi sektor industri hasil tembakau melalui penerimaan cukai yang sangat besar bagi negara, sebelum merumuskan kebijakan terkait tembakau.

Ia menegaskan, pemerintah perlu belajar dari kegagalan dalam melindungi sektor tekstil yang menyebabkan banyaknya pengangguran baru dari kebijakan pemerintah yang eksesif.

“Ada satu kepentingan lebih besar yang harus dirujuk. Kita harus belajar dari kasus Sritex, banyak pengangguran, terus kita mau buat perundang-undangan yang semena-mena? Jangan pak,” ucapnya dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema “Serap Aspirasi Mata Rantai Industri Hasil Tembakau” di Senayan, Jakarta (12/11) kemarin.

Willy menekankan jangan sampai aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang didorong oleh Kemenkes justru menimbulkan dampak baru yang melahirkan banyak praktik ilegal, seperti yang marak terjadi di negara lain. Jika aturan ini disahkan, semua pihak terkait dalam mata rantai pertembakauan akan celaka, baik dari hulu maupun hilir.

Ia juga menegaskan pentingnya untuk bersama-sama membuka mata dan lebih partisipatif dalam melahirkan sebuah kebijakan. Di era deindustrialisasi, lanjut Willy, jangan sampai negara justru mematikan industri nasional di tengah krisis yang melanda.

“Keberpihakan itu penting, meletakkan basis-basis kompetitif kita. Kita hidup di bumi Pancasila, ini Tanah Air kita, jadi tidak ada yang bisa semena-mena. Kita duduk bareng-bareng, kalau tidak bisa, kita cari jalan lain,” tegasnya.

Pandangan serupa turut disampaikan oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) yang selama ini justru belum diajak berdiskusi bersama oleh Kemenkes, padahal dampak terhadap tenaga kerja terlihat sangat nyata dari adanya Rancangan Permenkes. Sejak Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) dikeluarkan, Kemenaker telah menerima banyak keluhan dari berbagai pihak, termasuk potensi PHK hingga 2,2 juta pekerja di sektor tembakau dari aturan Kemenkes ini.

“Kami concern bahwa PP Nomor 28 Tahun 2024 dan turunannya akan berpotensi meningkatkan PHK. Kalau aturan ini terlalu kenceng sesuai teman-teman Kesehatan, akan ada 2,2 juta orang ter-PHK, baik dari tembakau maupun industri kreatif yang mendukung industri tembakau,” ungkap Dirjen Hubungan Industrial Kemenaker, Indah Anggoro Putri, dalam kesempatan yang sama.

Indah memaparkan dari 6 juta pekerja tembakau, hampir 89% adalah pekerja wanita, yang di mana 85% di antaranya adalah kelompok rentan sebagai kepala keluarga yang bekerja untuk menghidupi keluarganya, termasuk bagian pekerja kategori lemah. Indah mengatakan negara perlu hadir untuk melindungi kelompok ini karena apabila angka pengangguran meningkat, dampak sosialnya akan sangat besar hingga berujung pada peningkatan kriminalitas.

Tak hanya itu, Indah menyoroti banyaknya para pekerja yang bekecimpung di industri kreatif semestinya dilindungi agar tetap bisa menyalurkan kreativitasnya. Indah menekankan agar Kemenkes mempertimbangkan keseimbangan pengusaha agar sama-sama dapat mendukung target pertumbuhan ekonomi nasional 8% yang telah digagas oleh pemerintahan Presiden Prabowo.

“Kita perlu selamatkan sektor tembakau ini, mitigasinya dari kami tentu serap aspirasi. Izin juga untuk Kemenkes, kalau rapat kami juga perlu diundang. Karena sebelumnya Kemenkes dikritik kurang public hearing, jadi ke depannya kami siap untuk mendukung dan diajak berdiskusi,” tegasnya.