Tak hanya kehilangan air bersih, Sahdiamin juga harus merelakan sawah padinya yang hampir panen. Tanaman padi yang ia rawat bertahun-tahun hancur diterjang banjir dan lumpur.
“Sayang sekali, nak. Tapi mau bagaimana lagi,” katanya pasrah.
Di tengah keputusasaan itu, kehadiran relawan menjadi secercah harapan. Pada suatu malam, diiringi hujan dan sunyi, pintu rumah Sahdiamin diketuk. Relawan datang membawa makanan. Semangkuk bubur kacang hijau terasa lebih dari sekadar santapan.
“Memang aku menerima itu. Kubilang terima kasih, tapi menangis aku menerimanya, nak. Sedih perasaan aku,” tuturnya.
Malam berikutnya, ketukan serupa kembali terdengar.
“Assalamualaikum, Bu, ada makanan?”. Kalimat sederhana yang membuatnya merasa tidak sendirian.
Harapan itu semakin nyata ketika mobil tangki Dompet Dhuafa berisi 6.000 liter air bersih tiba di wilayah mereka. Wajah Sahdiamin tampak lega. Ia tak lagi harus menunggu hujan atau mengambil air keruh yang berisiko bagi kesehatan.
“Bersyukur sebanyak-banyak sama Tuhan, tenaga anak-anak mengasihkan air itu ke sini. Aku sudah tidak bisa mengangkat air dari sana, walaupun ada, tidak bisa menjunjung kita,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Bagi Sahdiamin dan penyintas lainnya, air bersih bukan hanya soal kebutuhan fisik. Ia mengembalikan rasa aman, martabat, dan sedikit ketenangan di tengah trauma yang belum sepenuhnya pulih. Air itu memungkinkan mereka kembali memasak, mencuci, mandi, dan perlahan menata hidup.
Di akhir ceritanya, Sahdiamin menyampaikan doa yang sederhana namun penuh harap.
“Manalah yang terbaik, itulah yang kita minta sama Tuhan. Yang terbaiklah yang dikasih. Jangan lagi kalau boleh permintaan kami sama Tuhan, jangan lagi bencana, cukuplah penderitaan ini,” tutupnya seraya berdoa.