Banjir bandang yang melanda Kelurahan Aek Tolang Induk, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, tidak hanya merusak rumah dan lahan pertanian warga, tetapi juga memutus sumber kehidupan paling mendasar, yakni air bersih.

Selama hampir satu minggu, air pipa dari gunung yang selama ini menjadi tumpuan warga berhenti total akibat longsor dan timbunan lumpur tebal.

Di tengah situasi itu, Dompet Dhuafa hadir menyalurkan bantuan distribusi air bersih untuk memenuhi kebutuhan para penyintas, termasuk Sahdiamin Tambunan, seorang ibu lanjut usia yang harus bertahan di tengah keterbatasan dan trauma pascabencana.

Saat ditemui pada Sabtu (13/12/2025), Sahdiamin menceritakan bagaimana hari-harinya berjalan tanpa air layak.

“Sudah satu minggu tidak masuk air,” ungkapnya lirih.

Air yang tersedia di sekitar rumahnya berwarna keruh seperti lumpur dan tidak layak digunakan. Jika hujan turun, ia menampung air seadanya untuk mandi dan memasak. Jika tidak, ia terpaksa menahan diri.

“Kondisi air itu seperti lumpur, kotor. Mandi pakai air hujan kalau datang hujan. Kalau nggak datang hujan, ya tidak mandi,” tuturnya.

Sebenarnya, terdapat mata air di dekat gunung yang biasa digunakan warga. Namun pascabencana, mata air itu menjadi keruh dan dipenuhi antrean panjang. Siang dan malam warga bergantian mencuci dan mengambil air.

Bagi Sahdiamin yang sudah lanjut usia, kondisi tersebut hampir mustahil dijalani.

“Airnya dekat gunung itu. Tapi padat orang. Siang malam jam satu masih di situ orang mencuci. Seperti awak ini sudah tidak bisa, aku sudah tua. Kutahan lah,” katanya.

Menurutnya, sungai terdekat pun tak bisa diandalkan karena airnya masih sangat keruh.

Akses jalan yang tertutup lumpur semakin memperberat keadaan. Jalanan yang biasanya dilalui kini terbenam lumpur setinggi lutut, membuat warga kesulitan bergerak.

“Jalan pun tak bisa kita. Lumpur besar kali, lewat (setinggi) lutut. Mengangkat kaki pun tak bisa,” ucap Sahdiamin menggambarkan kondisi kampungnya.

Baca Juga: Bantuan DMC Dompet Dhuafa untuk Warga Korban Banjir di Pulau Sumatera

Tak hanya kehilangan air bersih, Sahdiamin juga harus merelakan sawah padinya yang hampir panen. Tanaman padi yang ia rawat bertahun-tahun hancur diterjang banjir dan lumpur.

“Sayang sekali, nak. Tapi mau bagaimana lagi,” katanya pasrah.

Di tengah keputusasaan itu, kehadiran relawan menjadi secercah harapan. Pada suatu malam, diiringi hujan dan sunyi, pintu rumah Sahdiamin diketuk. Relawan datang membawa makanan. Semangkuk bubur kacang hijau terasa lebih dari sekadar santapan.

“Memang aku menerima itu. Kubilang terima kasih, tapi menangis aku menerimanya, nak. Sedih perasaan aku,” tuturnya.

Malam berikutnya, ketukan serupa kembali terdengar.

“Assalamualaikum, Bu, ada makanan?”. Kalimat sederhana yang membuatnya merasa tidak sendirian.

Harapan itu semakin nyata ketika mobil tangki Dompet Dhuafa berisi 6.000 liter air bersih tiba di wilayah mereka. Wajah Sahdiamin tampak lega. Ia tak lagi harus menunggu hujan atau mengambil air keruh yang berisiko bagi kesehatan.

“Bersyukur sebanyak-banyak sama Tuhan, tenaga anak-anak mengasihkan air itu ke sini. Aku sudah tidak bisa mengangkat air dari sana, walaupun ada, tidak bisa menjunjung kita,” katanya dengan mata berkaca-kaca.

Bagi Sahdiamin dan penyintas lainnya, air bersih bukan hanya soal kebutuhan fisik. Ia mengembalikan rasa aman, martabat, dan sedikit ketenangan di tengah trauma yang belum sepenuhnya pulih. Air itu memungkinkan mereka kembali memasak, mencuci, mandi, dan perlahan menata hidup.

Di akhir ceritanya, Sahdiamin menyampaikan doa yang sederhana namun penuh harap.

“Manalah yang terbaik, itulah yang kita minta sama Tuhan. Yang terbaiklah yang dikasih. Jangan lagi kalau boleh permintaan kami sama Tuhan, jangan lagi bencana, cukuplah penderitaan ini,” tutupnya seraya berdoa.

Baca Juga: Bersama Tim SAR Gabungan, DMC Dompet Dhuafa Berhasil Evakuasi Satu Korban Timbunan Longsor Banjarnegara