Wartawan Sawit Nusantara (WSN) meminta Presiden Prabowo Subianto untuk tidak terburu-buru membuat kebijakan guna menambah luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sebab, dengan luas perkebunan kelapa sawit yang ada saat ini, lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor jika dikelola dengan baik.
Ketua Umum WSN, Abdul Aziz, mengatakan, berdasarkan data terbaru Kementerian Pertanian, saat ini ada sekitar 17,3 juta hektare kebun kelapa sawit yang tersebar di 31 provinsi yang ada di Indonesia. Angka ini melonjak dari 16,83 juta hektare pada 2022.
Baca Juga: Banyak Negara Incar Sawit Indonesia, Presiden Prabowo: Jaga Aset Kita!
"Namun, luasan ini hanya bisa menghasilkan sekitar 45 juta ton Crude Palm Oil (CPO) dalam setahun. Jika diasumsikan, rendemen rata-rata Tandan Buah Segar (TBS) adalah 20% per kilogram. Ini berarti produksi TBS kita hanya sekitar 225 juta ton per tahun. Nah, kalau produksi ini dibagi dengan luasan, kita ambil saja luasannya 16,83 juta hektare, berarti produksi TBS Indonesia per hektare per tahunnya hanya sekitar 13,4 ton. Sama saja dengan sekitar 1,1 ton per hektar per bulan. Ini sangat kecil," urai lelaki 49 tahun ini, dikutip dari keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (8/1/2025).
Mestinya, kata Aziz, produksi TBS per hektare bisa di angka 3-4 ton per bulan. Ini kelihatan dari bukti-bukti yang didapat oleh WSN di beberapa daerah di Indonesia seperti Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara. "Kami mendapati di daerah-daerah ini, kebun kelapa sawit hasil Program Peremajaan Sawit Rakyat (P-PSR), produksi per hektare per bulannya telah mencapai angka segitu dan bahkan ada yang mencapai 5-6 ton per hektare per bulan. Ini berarti, bila dikelola dengan baik, hasilnya juga akan bagus kan?" katanya.
Jika produksi TBS telah mencapai 3 ton per hektare per bulan, artinya produksi CPO nasional sudah tiga kali lipat dari produksi saat ini. "Produksi CPO kita sudah akan mencapai 135 juta ton per tahun. Itu bila rendemen rata-rata yang didapat hanya 20% per kilogram TBS. Kalau rendemen TBS hasil PSR biasanya lebih. CPO sebanyak ini saya pastikan sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor, termasukl untuk kebutuhan bauran biodiesel B50 yang membutuhkan CPO sekitar 15 juta ton per tahun," bebernya.
Merujuk pada Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) yang ditetapkan melalui Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2019, mestinya produksi TBS nasional sudah melonjak tajam. Sebab di saat itu, Kementerian Pertanian telah mengeluarkan data bahwa ada sekitar 2,7 juta hektare kebun kelapa sawit rakyat yang sudah musti diremajakan. Angka ini belum termasuk luasan lahan sawit perusahaan yang juga akan menjalani peremajaan.
"Namun apa yang terjadi dengan lahan yang 2,7 juta hektare itu? Dari 2017-2024, kebun sawit yang telah menjalani peremajaan, hanya 334.834 hektare. Ini berarti masih ada lebih dari 2,3 juta hektare lagi kebun sawit rakyat yang harus diremajakan. Kok bisa luasan peremajaan hanya segitu? Mestinya ini dululah yang diberesi oleh Presiden Prabowo," pinta Aziz.
Dengan peremajaan tersebut, produksi TBS dalam empat tahun tahun sudah bisa mencapai 82,8 juta ton dalam setahun. Ini setara dengan 16,56 juta ton CPO dalam setahun bila rendemen rata-ratanya hanya 20%. Aziz lantas merinci persoalan yang terjadi di industri kelapa sawit Indonesia.
Pertama, menurut Aziz, selama ini petani teramat sulit mengakses pupuk dan kelengkapan lainnya demi merawat kebun untuk meningkatkan produksi. Petani sawit tidak boleh mengakses pupuk bersubsidi. Kedua, rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh petani sawit untuk bisa ikut program peremajaan sawit rakyat. Selain harus melengkapi legalitas, juga harus mendapatkan "lampu hijau" dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kehutanan terkait tidak tumpang tindih dengan Hak Guna Usaha (HGU) dan tidak berada di kawasan hutan.
Persoalan berikutnya, katanya, ialah sulitnya petani sawitd alam mengakses penyuluh perkebunan kelapa sawit. "Ada juga petani ini yang tidak bisa ikut PSR lantaran kebunnya diklaim dalam kawasan hutan. Data yang kami dapatkan, lebih dari 1,5 juta hektare kebun sawit rakyat diklaim dalam kawasan hutan," ujar Aziz.
Terkait klaim kawasan hutan ini, WSN juga meminta agar Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, tidak gegabah membuat pernyataan menyediakan 20 juta hektare hutan untuk mendukung pangan dan energi. "Kami minta Pak Menteri jangan Asal Bapak Senang (ABS). Bereskan dulu pengukuhan kawasan hutan itu sesuai dengan pasal 14 dan 15 Undang-Undang 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan," katanya.
"Intinya, kami sangat berterima kasih Presiden Prabowo telah peduli dengan keberlanjutan perkebunan kelapa sawit nasional. Namun, bukan berarti harus menambah luasan perkebunan kelapa sawit. Kalau persoalan pada lahan yang sudah eksisting diberesi, saya yakin misi ketahanan pangan dan energi yang diusung Presiden Prabowo akan tercapai sebelum masa jabatan lima tahun pertamanya usai, saya yakin itu," pungkasnya.