Lebih jauh, Dian menggarisbawahi bahwa kecerdasan AI sejatinya terbentuk dari pola perilaku manusia. AI belajar dari prompt atau perintah yang diberikan oleh manusia, baik yang bersifat positif maupun negatif.

“AI itu memiliki kecerdasan karena dia mengimitasi dan mempelajari pola kecerdasan manusia yang selama ini dimasukkan sebagai prompt. Kalau manusia yang ada di dunia ini memberikan prompt-prompt yang negatif, tidak bijaksana, misalnya untuk menyalahkan orang lain atau mengobjektifikasi orang lain sebagai objek, itu kan jadi prompt-prompt yang jahat yang akhirnya mengajarkan AI menjadi pola yang jahat,” ungkapnya.

Sebaliknya, Dian percaya bahwa manusia juga memiliki peluang besar untuk membentuk perkembangan AI ke arah yang lebih manusiawi dan berempati.

Menurutnya, dengan memberikan prompt yang mengedepankan kepentingan bersama, empati, dan keinginan untuk menolong sesama, AI pun berpotensi berkembang dengan karakter yang lebih positif.

“Kalau kita menggunakan lebih banyak kebijaksanaan dan intuisi, kita juga bisa memberikan prompt-prompt yang jauh lebih positif. Kita bisa mengajarkan si AI itu menjadi being yang juga memiliki kepekaan,” tuturnya.

Meski mengakui bahwa saat ini belum ada pihak yang benar-benar bisa mengontrol sepenuhnya perkembangan AI secara etis, Dian menekankan bahwa kontribusi individu tetap sangat menentukan.

“Yang pasti mereka berkembang dari prompt yang kita berikan. Apabila prompt yang kita berikan itu untuk merugikan orang lain, untuk ngisengin orang, untuk mau menang sendiri, ya mereka jadinya seperti itu. Tapi kalau kita punya prompt-prompt yang lebih mengutamakan kepentingan banyak orang, buat nolongin orang, buat mengangkat orang lain, ya mudah-mudahan mereka juga jadi lebih baik,” pungkas Dian.

Baca Juga: Perempuan Inovasi 2025 Menjadi Panggung Kekuatan Perempuan di Era Transformasi AI