Growthmates, di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), peran orang tua terutama ibumenjadi semakin krusial dalam membekali anak-anak dengan pemahaman etika digital.

Hal ini juga disadari betul oleh Dian Sastrowardoyo, Aktris sekaligus Founder Yayasan Dian Sastrowardoyo, yang membagikan pandangannya tentang bagaimana mengajarkan penggunaan teknologi dan AI secara bijak kepada generasi muda.

Sebagai seorang ibu, Dian mengakui bahwa anak-anak saat ini jauh lebih akrab dengan dunia teknologi, termasuk AI, dibandingkan generasi sebelumnya.

Bahkan, penggunaan AI untuk mengerjakan tugas sekolah sudah menjadi hal yang lumrah. Namun, menurut Dian, kedekatan ini harus dibarengi dengan kesadaran akan risiko yang menyertainya.

“Anak-anak sekarang sudah pasti jauh lebih akrab dengan dunia AI daripada saya. Mereka di Indonesia bikin tugas pun sekarang pasti menggunakan AI. Tapi saya juga mengajarkan bahwa dari AI ini tetap ada bahayanya,” ungkap Dian, saat acara Demo Day Perempuan Inovasi 2025 “Menjadi Changemaker di Era AI: Kekuatan Perempuan dalam Transformasi Profesi” yang diselenggarakan di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Rabu (10/12/2025).

Adapun, salah satu risiko utama yang disorot perempuan kelahiran Jakarta, 16 Maret 1982 ini adalah soal keamanan data pribadi.  a pun menekankan kepada anak-anaknya pentingnya kesadaran akan jejak digital yang ditinggalkan setiap pengguna.

“Privacy data kita itu kalau misalnya kita tidak aware, tidak bijaksana, itu bisa terambil,” tuturnya.

Tak hanya soal data, ibu 2 orang anak ini juga menyinggung persoalan distorsi representasi perempuan di ranah digital. Menurutnya, perempuan perlu memiliki kecermatan dalam mengekspose diri di ruang publik digital karena hal tersebut dapat dimanfaatkan dan direkam sebagai pola oleh AI.

“Ada juga distorsi representasi perempuan kita kalau enggak punya kesadaran dan kecermatan bagaimana men-expose diri kita, terutama kita yang perempuan ya di ranah digital. Itu tuh juga bisa digunakan sebenarnya oleh AI,” jelasnya.

Baca Juga: Lebih dari Sekadar Cerdas, Inilah Kekuatan Perempuan di Era AI versi Dian Sastrowardoyo

Lebih jauh, Dian menggarisbawahi bahwa kecerdasan AI sejatinya terbentuk dari pola perilaku manusia. AI belajar dari prompt atau perintah yang diberikan oleh manusia, baik yang bersifat positif maupun negatif.

“AI itu memiliki kecerdasan karena dia mengimitasi dan mempelajari pola kecerdasan manusia yang selama ini dimasukkan sebagai prompt. Kalau manusia yang ada di dunia ini memberikan prompt-prompt yang negatif, tidak bijaksana, misalnya untuk menyalahkan orang lain atau mengobjektifikasi orang lain sebagai objek, itu kan jadi prompt-prompt yang jahat yang akhirnya mengajarkan AI menjadi pola yang jahat,” ungkapnya.

Sebaliknya, Dian percaya bahwa manusia juga memiliki peluang besar untuk membentuk perkembangan AI ke arah yang lebih manusiawi dan berempati.

Menurutnya, dengan memberikan prompt yang mengedepankan kepentingan bersama, empati, dan keinginan untuk menolong sesama, AI pun berpotensi berkembang dengan karakter yang lebih positif.

“Kalau kita menggunakan lebih banyak kebijaksanaan dan intuisi, kita juga bisa memberikan prompt-prompt yang jauh lebih positif. Kita bisa mengajarkan si AI itu menjadi being yang juga memiliki kepekaan,” tuturnya.

Meski mengakui bahwa saat ini belum ada pihak yang benar-benar bisa mengontrol sepenuhnya perkembangan AI secara etis, Dian menekankan bahwa kontribusi individu tetap sangat menentukan.

“Yang pasti mereka berkembang dari prompt yang kita berikan. Apabila prompt yang kita berikan itu untuk merugikan orang lain, untuk ngisengin orang, untuk mau menang sendiri, ya mereka jadinya seperti itu. Tapi kalau kita punya prompt-prompt yang lebih mengutamakan kepentingan banyak orang, buat nolongin orang, buat mengangkat orang lain, ya mudah-mudahan mereka juga jadi lebih baik,” pungkas Dian.

Baca Juga: Perempuan Inovasi 2025 Menjadi Panggung Kekuatan Perempuan di Era Transformasi AI