Di berbagai daerah dari kota hingga pelosok negeri, masih ada perempuan-perempuan yang memaknai profesi guru bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan hidup. Di antara mereka ada yang mengabdikan diri di tempat-tempat yang sering terlupakan demi menghadirkan harapan melalui pendidikan.

Dari hutan Jambi hingga pesisir Karawang, dari Bekasi hingga pegunungan Papua, berikut adalah deretan perempuan inspiratif yang membuktikan bahwa semangat mendidik tak mengenal batas. Mengutip dari berbagai sumber, berikut nama-nama perempuan inspiratif itu:

Butet Manurung

Nama Saur Marlina “Butet” Manurung sudah lama menjadi simbol keberanian dan dedikasi di dunia pendidikan alternatif. Melalui Sokola Institute, yang ia dirikan sejak 2003, Butet membuka jalan bagi pendidikan berbasis budaya lokal bagi masyarakat adat seperti Orang Rimba di Jambi, serta komunitas lain di berbagai pelosok nusantara.

Baca Juga: 12 Tokoh Perempuan Inspiratif di Bidang Pendidikan

Metode yang ia lakukan tak biasa, ia tinggal bersama masyarakat adat, mempelajari bahasa dan kebiasaan mereka, lalu menyesuaikan cara mengajar agar tidak mengganggu tatanan sosial lokal. Butet tidak datang membawa “sekolah formal”, melainkan membangun “ruang belajar” dari apa yang sudah mereka miliki, seperti dedaunan sebagai papan tulis, dan cerita rakyat sebagai bahan literasi.

“Pendidikan bukan tentang memindahkan pengetahuan, tapi tentang membuka kesadaran,” kata Butet dalam sebuah wawancara. 

Pendekatannya kemudian menjadi inspirasi banyak model pendidikan kontekstual di daerah terpencil Indonesia. Melalui Sokola, Butet juga melatih pendidik lokal untuk melanjutkan perjuangan ini, memastikan literasi menjadi hak setiap anak, di mana pun mereka tinggal.

Siti Juleha

Di pesisir Karawang, seorang perempuan bernama Siti Juleha memperjuangkan keberadaan sekolah bagi anak-anak nelayan. Sejak 2009, ia mendirikan PAUD Mutiara Pakis dari nol, tanpa bangunan, tanpa dana, hanya dengan bermodalkan semangat.

Baca Juga: 15 Perempuan Inspiratif di Dunia Bisnis Indonesia

Awalnya, ia mengajar di rumah warga, mengumpulkan anak-anak di ruang kecil, menggunakan papan tulis seadanya. Berkat kegigihannya, sekolah itu akhirnya memiliki bangunan permanen hasil swadaya masyarakat. Meski sempat kehilangan suaminya dan harus menghadapi kerusakan gedung akibat cuaca, Siti tetap mengajar.

“Anak-anak di sini harus punya masa depan lebih baik dari orang tuanya,” ujarnya kepada Kompas TV.

Kini, PAUD Mutiara Pakis menjadi pusat belajar kecil yang penuh warna, tempat anak-anak pesisir mengenal huruf pertama mereka. Perjuangan Siti menjadi cermin dari banyak guru di daerah terpencil yang bekerja tanpa pamrih, demi satu tujuan, yaitu memastikan setiap anak punya kesempatan belajar.

Endah Priyati

Bagi Endah Priyati, guru sejarah di SMAN 12 Kota Bekasi, pelajaran sejarah tak harus kaku dan membosankan. Ia justru menjadikannya media kreatif untuk menumbuhkan minat belajar. Sejak beberapa tahun terakhir, Endah mengajak siswanya membuat komik sejarah dengan menggambarkan peristiwa dan tokoh nasional lewat narasi visual yang menarik.

Baca Juga: Deretan Perempuan Inspiratif di Bidang Kedokteran, dari Pejuang Kesehatan hingga Dokter Muda Penggerak Zaman

Melalui proyek ini, siswa tidak hanya belajar tentang peristiwa masa lalu, tetapi juga mengasah kemampuan berpikir kritis, literasi, dan imajinasi. Ia percaya bahwa sejarah bisa menjadi ruang dialog antargenerasi, bukan sekadar hafalan tahun dan nama pahlawan.

“Anak-anak Generasi Z butuh cara belajar yang relevan dengan dunianya,” kata Endah.

Karya-karya komik buatan siswanya bahkan telah dipamerkan di sekolah dan media lokal. Pendekatan Endah menunjukkan bagaimana inovasi sederhana bisa membangkitkan semangat belajar, bahkan untuk mata pelajaran yang sering dianggap sulit.

Indri Inggriaty Marliansari Bengu

Di Desa Edagotadi, Kabupaten Deiyai, Papua, Indri Inggriaty Marliansari Bengu mengajar di sekolah dasar dengan segala keterbatasan, tanpa listrik, tanpa air bersih, dan dengan risiko keamanan yang tidak menentu. Untuk mendapatkan air, ia harus berjalan ke bawah gunung. Saat malam, hanya genset kecil yang menghidupkan lampu selama beberapa jam.

Baca Juga: 10 Perempuan Inspiratif yang Mengukir Jejak di Dunia Jurnalistik Indonesia

Namun, Indri bertahan. “Kalau bukan kita yang datang ke sini, siapa lagi yang mau mengajar mereka?” tuturnya dalam sebuah wawancara.

Dedikasinya membuktikan bahwa profesi guru di pedalaman bukan hanya soal mengajar membaca dan menulis, tetapi juga soal kemanusiaan, tentang hadir di tempat di mana kehadiran manusia lain saja sudah menjadi hadiah besar.

Zully Hijah Yanti AD

Sebagai peserta program SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal), Zully Hijah Yanti AD pernah mengajar di daerah terpencil Sambas, Kalimantan Barat. Ia menghadapi cuaca ekstrem yang membuat hidungnya sering berdarah, tinggal di desa yang hanya mengandalkan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari, dan jauh dari fasilitas kesehatan.

Namun, di tengah kondisi itu, ia tetap mengajar dengan sepenuh hati. Zully percaya, anak-anak di pelosok pun berhak mendapatkan pendidikan yang setara. Setelah kembali dari penugasan, ia terus aktif dalam kegiatan sosial pendidikan di komunitasnya, membagikan pengalaman kepada calon guru muda agar siap mengabdi di daerah sulit.

Baca Juga: Deretan Konglomerat yang Aktif di Dunia Pendidikan

Nila Tanzil

Dari NTT hingga Maluku, nama Nila Tanzil identik dengan gerakan literasi anak-anak. Melalui Taman Bacaan Pelangi, yang ia dirikan pada 2009, Nila telah membangun lebih dari 200 perpustakaan anak di 19 pulau di Indonesia Timur. Gerakannya berawal dari keprihatinan saat melihat minimnya akses buku di daerah terpencil.

Nila meninggalkan karier korporatnya di Jakarta dan memutuskan mengabdikan diri sepenuhnya untuk anak-anak. “Mereka punya rasa ingin tahu besar, tapi tidak punya bahan bacaan,” katanya. Kini, Taman Bacaan Pelangi menjadi salah satu gerakan literasi paling berdampak di Indonesia Timur, dengan ribuan anak yang belajar membaca dan mencintai buku berkat upaya komunitasnya.

Baca Juga: 6 Atlet Panjat Tebing Perempuan Indonesia yang Bikin Bangga

Emmanuella Mila

Bagi Emmanuella Mila, dongeng adalah jembatan antara hati dan pikiran anak. Sejak 2010, ia mendirikan Rumah Dongeng Pelangi, komunitas yang menggunakan cerita dan teater boneka untuk mengajarkan nilai-nilai moral, empati, dan literasi kepada anak-anak.

Program seperti “Dongeng Charity” dan “Panggung Boneka untuk 1000 Anak Indonesia” membawanya berkeliling ke berbagai kota dan desa, seringkali di sekolah-sekolah tanpa fasilitas. 

“Anak-anak perlu merasa dicintai sebelum bisa diajak belajar,” ujarnya.

Filosofi itu menjadikan Mila bukan sekadar pendongeng, tapi juga pendidik yang membangun karakter bangsa dari kisah sederhana.

Septi Peni Wulandani

Meski tak lagi mengajar di kelas, Septi Peni Wulandani telah menciptakan “kelas terbesar” di Indonesia melalui Institut Ibu Profesional (IIP), komunitas pembelajaran bagi para ibu. Dari rumahnya di Salatiga, ia mengembangkan sistem “perkuliahan” untuk perempuan, dengan fokus pada parenting, manajemen rumah tangga, dan pengembangan diri.

“Jika ingin mencetak generasi hebat, didiklah ibunya,” adalah prinsip yang selalu ia gaungkan.

Baca Juga: Deretan Perempuan Inspiratif Indonesia di Bidang Budaya

Kini, IIP memiliki ribuan anggota di dalam dan luar negeri, membentuk jaringan pembelajar perempuan yang saling mendukung. Melalui gerakan ini, Septi menegaskan bahwa pendidikan dimulai dari rumah, dan ibu adalah guru pertama yang paling berpengaruh.

Melihat peran mereka dan kegigihannya dalam memerjuangkan pendidikan di Indonesia, banyak sosok yang patut diapresiasi setinggi-tingginya. Sejatinya, pendidikan lahir dari hati yang berani mencintai.