Dato Sri Tahir Bicara mengenai paradoks yang ada dalam dunia pendidikan dan kesehatan di Indonesia. Dalam sebuah kesempatan, Tahir menegaskan pentingnya melakukan reformasi di keduanya.
Salah satu contoh yang paling disorot, yakni mengenai profesi dokter. Menurutnya, dokter-dokter hebat dan terkenal yang ada di Indonesia hampir selalu memiliki jam praktik yang panjang, hampir sehari penuh. Dengan kondisi tersebut, Tahir yakin para dokter tak punya waktu untuk membaca buku untuk sekadar me-refresh ilmu.
Baca Juga: Suka Duka Perjuangan di Surabaya, Kota Pahlawan yang Jadi Saksi Kehidupan Keluarga Tahir
"Mereka sudah tidak baca buku yang baru lagi, sudah tidak ada waktu. Lagi-lagi suruh baca buku, suruh bikin paper atau jurnal, suruh ke luar negeri, ada ketakutan kalau ke luar negeri nanti pasiennya hilang," ungkap Tahir dilansir Olenka pada Kamis, 8 Agustus 2024.
Pemikiran yang demikian membuat para dokter lebih mementingkan aspek ketergesaan yang berdampak pada kualitas diri dan ilmu yang dimilikinya.
"Maka itu quality dokternya juga pelan-pelan stuck," lanjutnya.
Berbeda halnya dengan dokter yang tidak terkenal dan memiliki sedikit pasien, tapi memiliki idealisme. Ada keinginan sendiri dari mereka untuk mengikuti konferensi penelitian.
Namun pada saat yang sama, dokter tersebut terkendala oleh uang karena pasiennya yang sepi. Begitu pun jika ada keinginan membuat jurnal dan paper, selalu terbentur oleh faktor biaya.
"Maka ini menjadi paradoks. Contoh lain kalau profesornya bagus, cemerlang, inginnya jadi menteri atau jadi dirjen dan kepala badan atau jadi pengusaha," kata Tahir.
Sementara bagi profesor yang kurang beruntung, di mana gaji dari universitas tidak mencukupi, mereka membuka jasa les private dan lainnya yang menyebabkan konsentrasi dirinya terhadap murid menjadi berkurang untuk menjadikan murid itu lebih baik lagi.
Tahir melanjutkan, di luar negeri dikenal professorship, di mana perusahaan bisa memberikan biaya kepada profesor khusus untuk memperdalam research, meningkatkan paper, jurnal, menghadiri konferensi.
"Dan saya satu-satunya, mungkin baru pertama di Indonesia, saya memberikan professorship ke UGM, sudah dimanfaatkan oleh lima profesor," ungkapnya lagi.