Pendiri Mayapada Group Dato Sri Tahir menyimpan sejuta kenangan di kota kelahirannya Surabaya. Kota itu menjadi saksi perjuangan Tahir muda dari titik nol hingga seperti sekarang ini. 

26 Maret 72 tahun silam, Tahir lahir di Surabaya. Ia tak terlahir sebagai konglomerat yang seperti kita kenal sekarang, ia lahir di tengah keluarga dengan kondisi ekonomi pas-pasan.  

Situasi ekonomi keluarga yang cenderung kekurangan seperti ini yang dikemudian hari membentuk Tahir menjadi seorang pekerja keras. Laki-laki yang berjuang melawan kehidupan kota. 

Baca Juga: Mengulik Faktor Keberhasilan Dato Sri Tahir, Filantropis Pendiri Mayapada Group

Di Kota Pahlawan itu, Tahir dengan segala keterbatasannya menjadi pahlawan untuk keluarga kecilnya. Itu ia lakoni setelah sayang ayah yang menjadi tulang punggung keluarga mulai sakit-sakitan. 

Tahir yang ketika itu sedang berkuliah di Taiwan merelakan pendidikannya terbengkalai, dia mengorbankan masa depannya dan memutuskan pulang  ke Surabaya untuk mengambil alih peran sang ayah sebagai sumber kehidupan keluarga. 

Penghasilan ibu yang bekerja sebagai penjaga sebuah toko kecil tak cukup untuk menopang ekonomi keluarga, upahnya hanya cukup untuk makan sehari-hari, sedangkan sang ayah yang sakit-sakitan butuh ongkos pengobatan. Biayanya tak sedikit. Dari sini perjuangan Tahir di Kota Kemilau dimulai.

Juragan Becak di Kota Maritim  

Beberapa anak terlahir beruntung karena dilahirkan dan dibesarkan di keluarga yang cukup materi, sisanya lebih beruntung karena diberi hati dan tulang yang kuat, kata-kata dari penulis anonim ini pantas untuk menggambarkan kondisi Tahir kala itu.  

Tahir Muda yang sudah putus kuliah kini melakoni peran ganda, sebagai anak juga sekaligus sebagai pengganti sang sang ayah.

Usaha becak peninggalan bapak mau tak mau harus diteruskan. Dalam keadaan kepepet seperti itu, Tahir tak berpikir dua kali untuk meneruskan usaha warisan keluarga itu.  

Baca Juga: Mengenal Rosy Riady, Istri Konglomerat Dato Sri Tahir yang Gemar Beramal dan Modis Abis!

Menjajal pekerjaan kasar tak lantas membuat Tahir takluk pada keadaan, kehidupan keras Kota Maritim, julukan lain Kota Surabaya memaksanya bertahan demi ayah dan ibunya. 

Dari usaha ini, Tahir kemudian menjadi juragan becak, ia menyewakan becak-becaknya kepada masyarakat setempat dengan sistem bagi hasil. Tahir menjalankan usaha  itu  dengan mengadopsi cara yang telah dilakukan sang ayah sejak dulu.