Ciputra berhasil membuktikan dirinya setelah menuntaskan sederet proyek raksasa di Jakarta, revitalisasi Pasar Senen dan pembangunan Ancol yang kelak menjadi salah satu ikon Jakarta adalah buah dari sentuhan tangan dingin nan karismatik Ciputra. Mimpi yang ia idam-idamkan sejak kecil itu telah berhasil ia rengkuh. Ciputra telah membuktikan diri menjadi seorang arsitek andal.
Sukses menggarap proyek-proyek mahabesar tak membuat Ciputra berpuas diri, justru sebaliknya ia merasa belum ada apa-apanya. Keinginannya untuk meninggalkan jejak lewat karya-karya dahsyat terus menggelora, perasaan itu terus menggodanya.
Sejak muda, Ciputra memang sudah diberi kelebihan berupa insting yang kuat, ia mampu menerka sesuatu yang bakal terjadi ke depan, tebakannya jarang ada yang meleset. Sama seperti ia melihat masa depan Jakarta.
Sejak resmi ditetapkan menjadi Ibu Kota Indonesia, Ciputra telah mengendus masa depan kota ini, Jakarta bakal menjadi sebuah kota yang teramat padat di masa mendatang. Bahkan lahan-lahan kosong bakal menjadi barang langkah.
Kejelian Ciputra membaca peluang ini yang kemudian melahirkan ide untuk membangun kota satelit impian, sebuah kota mandiri di pinggiran Jakarta dengan fasilitas mumpuni dimana warga kota mayoritas adalah pekerja yang setiap harinya beraktifitas di Jakarta, sehingga kota satelit itu dibuat senyaman mungkin. Namun ide gila Ciptra kembali ditertawakan sejumlah pihak, mereka merasa mustahil itu bisa terwujud.
“Lagi-lagi, pemikiran saya ini juga ditertawakan. Waktu terus berjalan. Jakarta kian letih dan tertatih menampung penduduk yang terus memadat. Saya mengomando Jaya agar bersiap dengan sebuah proyek besar. Membangun kota satelit,” kata Ciputra dilansir Olenka.id Selasa (8/7/2025).
Ciputra sadar betul bahwa sebuah ide gila yang mendapat penolakan memang harus diperjuangkan sekuat tenaga, akan tiba waktunya mereka melonjak keheranan sebab ide yang dianggap tak masuk akal itu mampu dibuat menjadi kenyataaan.
Di sisi lain, Ciputra sudah putar otak mencari lahan yang layak untuk mewujudkan mimpinya soal kota Satelit itu, hampir setiap harinya ia mendatangi kawasan pinggiran Jakarta mengecek ketersedian lahan, namun upayanya masih berbuah nihil. Ciputra tak putus asa.
Baca Juga: Pelajaran Hidup Ciputra dari Proyek Senen: Kesuksesan Besar yang yang Menorehkan Luka Batin
“Ada satu masa saya menemani seorang kawan yang membeli sebidang tanah di Kelurahan Bintaro. Kami membutuhkan kurang dari satu jam berkendaraan menuju tempat itu. Ketika itu saya menatap lahan mahaluas yang diwarnai pepohonan dan rumah-rumah penduduk yang bertebaran tapi tak padat. Otak saya bergerak,” ujarnya.
Mencicil Lahan di Bintaro
Pertama kali melihat lahan di kawasan Bintaro, Ciputra langsung kepincut, bayangan kota satelit impiannya terus menempel di kepalanya. Sayangnya ia tak punya modal yang cukup untuk membeli lahan di sana.
Di atas peta, kawasan itu masuk dalam provinsi Jawa Barat (kala itu) dan menjadi perbatasan di sisi selatan Jakarta mengarah ke Tangerang.
“Jika saya bisa memiliki ribuan hektare tanah yang ada... bukan main. Kota satelit yang saya impikan bisa saya bangun. Rencana itu saya simpan dan menjadi impian yang terus saya rawat,” tuturnya.
Di pertengahan dasawarsa 70-an itu, Ciputra telah membangun perusahaan baru bernama Metropolitan Development, bersama dua sahabat karibnya Sofyan dan Brasali. Lewat perusahaan itu Ciputra mulai merealisasikan mimpinya menyulap Bintaro sebagai kota satelit.
“Nah, saya kemudian mengusulkan agar Metropolitan membeli lahan Bintaro sebagai aset kami. Saya berdiskusi panjang dengan Metropolitan Development dan persetujuan datang. Kami akan membeli tanah di sana,” katanya lagi.
Kendati usulan itu disetujui, namun perusahaan itu tak bisa memborong semua tanah di sana. Kendalanya adalah modal yang tak cukup, tetapi itu tidak menjadi soal buat Ciputra. Toh lahan-lahan kosong di sana bisa dicicil.
Baca Juga: Ciputra dan Proyek Senen yang Melelahkan serta Sarat Hentakan Emosi
Singkat cerita, Ciputra dan rekan-rekannya berhasil membeli ratusan hektare di Bintaro setelah Grup Obayashi sebuah perusahaan Jepang ikut bergabung dalam proyek ini. Tetapi ini justru memicu masalah baru, Grup Obayashi justru mundur dan meminta dana yang telah dikucurkan segera dikembalikan karena kondisi keuangan perusahaan sedang tidak stabil, di satu sisi dana yang mereka kucurkan telah terpakai membeli lahan.
“Dari mana uangnya? Sedangkan kami membangun saja belum. Tak ada yang bisa dijual. Dan saya sangat tak ingin melepaskan lahan di Bintaro karena rencana di kepala saya sudah bulat,” kata Ciputra.
“Akhirnya satu ide muncul. Kenapa tidak saya jual saja pada Jaya? Toh, ada saya di sana. Saya tetap bisa mewujudkan impian saya untuk membangun kota satelit. Negosiasi pun saya lakukan pada para direksi. Saat itu jabatan saya di Jaya adalah Presiden Direktur, dan jajaran direksi terdiri atas Soekrisman, Hiskak Secakusuma, Hanafi Lauw, dan Eric Samola. Jaya setuju membeli lahan Bintaro dari Metropolitan,” pungkasnya.