Lebih lanjut, Jahja menyebut, profesi yang membutuhkan empati, kepekaan terhadap konteks sosial, dan kemampuan berkomunikasi mungkin kurang cocok untuk otomatisasi.
“Di BCA sendiri apakah yang nanti bertemu nasabah korporasi itu diganti AI? Apakah kasir kita gak ada? Anda lihat saja, di BCA masih ada 8.500 orang yang berhubungan langsung dengan masyarakat, dengan nasabah kita. Jadi, menurut saya, semua profesi itu jangan didefinisikan akan tergantikan AI. Tidak betul itu,” terang Jahja.
“Contohnya lagi restoran, kalau Anda lihat waktu order tuh banyak masuk di digital, diproses, makanan langsung disajikan. Kalaupun ada restoran yang pakai robot, rasanya pasti gak menarik. Dan rasanya belum ada di Indonesia (robot-robot yang bawa makanan). Kalau adapun 1-2. Apalagi kalau di warteg, mana bisa ada robot,” sambung Jahja.
Sebagai informasi, BCA sendiri terapkan untuk AI dan Big Data, yaitu computer fusion untuk documentation dan face recognition yang telah digunakan di aplikasi myBCA. Jika dengan face recognition, everything langsung smooth, tidak perlu mengetik user ID dan password.
Kemudian risk and fraud, jika dahulu sebelum di-computerize kita perlu memerlukan usaha lebih untuk mengumpulkan data, sekarang bisa cepat. Selain itu, dengan AI kita bisa mengkoneksikan data nasabah dengan data kependudukan, sehingga sekarang pembukaan rekening dapat dilakukan secara online.
Namun, kembali Jahja pun menegaskan bahwa tak semua lini bisnis bisa diotomatisasi dengan AI. Menurutnya, human touch dalam sebuah bisnis adalah hal penting sekali.
“Ya, bisnis-bisnis itu semua jangan didefinisikan bahwa semua profesi itu akan tergantikan AI. Tidak betul. Tetap, human touch itu penting sekali dalam semua bisnis. Jadi AI ini hanya membantu beberapa bisnis-bisnis yang repeating, yang sifatnya berulang-ulang, itu bisa dipercepat, simplify, dengan AI API Connection,” pungkas Jahja.
Baca Juga: Kontribusi Bakti BCA untuk Sektor Pendidikan di Indonesia, Ikut Tingkatkan Literasi Membaca Juga!