Banjir bandang disertai longsor yang menghantam Sumatra Selatan, Sumatra Barat dan Aceh masih terus menjadi sorotan publik, banyak pihak yakin bencana yang merenggut ribuan nyawa itu bukan karena faktor cuaca ekstrim semata, ada pemicu eksternal yang membuat banjir itu datang dengan begitu ganasnya. 

Isu kerusakan lingkungan kemudian mengemuka, di mana kerusakan hutan di tiga Provinsi itu disebut-sebut menjadi faktor utama pemicu banjir mengerikan itu. Munculnya ribuan kayu gelondongan yang terhanyut banjir memperkuat dugaan itu. 

Baca Juga: Ganjar Pranowo Komentari Status Banjir Sumatra yang Belum Menjadi Bencana Nasional

Pandangan soal  kerusakan lingkungan sebagai  pemicu utama banjir Sumatra-Aceh tak hanya datang dari masyarakat awam Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI) juga punya pandangan demikian, mereka bahkan menyebut banjir bandang dan longsor yang meluluhlantakkan tiga provinsi itu adalah bencana ekologis karena kebijakan pemerintah dan aktivitas korporasi.

“Kerusakan lingkungan di Sumatera merupakan dampak dari alih fungsi kawasan hutan melalui pemberian izin dan konsesi kepada perusahaan perkebunan, pertambangan, serta hutan tanaman industri (HTI),” kata Ketua Umum PHLI Prof MR Andri Gunawan Wibisana dilansir Olenka.id Selasa (23/12/2025). 

PHLI mencatat, kerusakan ekologis di Sumatra sudah berada di level kritis, sebagian besar daerah aliran sungai (DAS) di kawasan ini telah rusak parah karena aktivitas korporasi, selain itu tutupan luas hutan Sumatra juga terus menyusut karena aktivitas yang sama. PHLI mencatat tutupan hutan alam tersisa hanya sekitar 25%, sedangkan hutan alam yang masih ada diperkirakan 10-14 juta hektare atau kurang dari 30% luas Pulau Sumatera.

Di kawasan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, tercatat sekitar 94.000 hektare lahan digunakan untuk industri ekstraktif, dengan 28% di antaranya merupakan HTI. 

Sementara itu, laporan Trend Asia mencatat Aceh, Sumut, dan Sumbar kehilangan 3.678.411 hektare hutan alam dalam 10 tahun terakhir. Sumut menjadi provinsi dengan tingkat kehilangan hutan tertinggi, disusul Sumbar dan Aceh.

Izin Usaha Picu Lonjakan Deforestasi

PHLI juga menyoroti keberadaan 31 perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) di tiga provinsi tersebut dengan luas mencapai 1.019.287 hektare, yaitu Sumut menyumbang 15 izin terbesar seluas 592.607 hektare.

Baca Juga: Pengumuman Penting Kemenhut Soal Kayu Gelondongan dalam Bencana Sumatra

Trend Asia mencatat penerbitan PBPH tersebut berdampak signifikan terhadap peningkatan deforestasi, dari 414.295 hektare pada 2021 menjadi 635.481 hektare pada 2022, atau melonjak hampir 54% hanya dalam satu tahun.

Menurut Andri, banjir besar dan longsor di Sumatera tidak hanya disebabkan oleh penebangan ilegal, tetapi juga oleh penebangan legal berbasis izin yang diberikan pemerintah pusat maupun daerah.

“Obral izin di kawasan hutan mengabaikan kelestarian lingkungan dan hak masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Praktik ini berlangsung lama tanpa perubahan berarti,” tegasnya.

Penegakan Hukum Masih Lemah

PHLI mengapresiasi rencana pemerintah mencabut 22 izin pengolahan hasil hutan bermasalah seluas lebih dari 1 juta hektare, termasuk 116.168 hektare di Sumatera. Namun, PHLI menilai langkah tersebut belum cukup jika tidak disertai evaluasi menyeluruh atas kebijakan pemerintah.

“Penegakan hukum tidak membuat pemerintah bebas dari tanggung jawab. Pemerintah telah dengan sengaja mengeluarkan izin di kawasan hutan yang seharusnya dilindungi,” ujar Andri.

Ia menegaskan, pemerintah telah melanggar hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, serta asas tanggung jawab negara dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.