Komisaris Indika Energy, Arsjad Rasjid, membagikan pengalaman pribadinya saat memimpin sebuah tim kampanye politik. Menurutnya, mengelola sumber daya manusia di dunia politik sangat berbeda dibandingkan di lingkungan korporasi.

Salah satu perbedaan paling mencolok, kata Arsjad, terletak pada proses rekrutmen. Di perusahaan, ia memiliki keleluasaan untuk memilih kandidat sesuai kebutuhan, menilai keterampilan, hingga memastikan kesesuaian nilai (values) calon anggota tim dengan budaya perusahaan.

Bahkan, untuk posisi strategis seperti C-level, wawancara biasanya menekankan keselarasan nilai yang diyakininya menjadi kunci penyatuan berbagai unit bisnis.

Baca Juga: Jelang Munas, Kadin Kubu Arsjad Rasjid Surati Prabowo

“Yang bisa menyatukan kita cuma satu, yaitu nilai-nilai. Kalau ada values, tanpa SOP pun, kita punya ‘true north’,” ujarnya.

Namun, di dunia politik, kondisi tersebut berbeda. Arsjad mengungkapkan bahwa anggota tim kampanye biasanya sudah terbentuk atau “given”, sehingga tidak ada ruang untuk melakukan seleksi mendalam. Ia pun harus mengelola tim yang terdiri dari orang-orang dengan latar belakang, karakter, dan sistem nilai yang beragam.

“Di politik, karakter dan cerita tiap orang berbeda-beda. Value system-nya juga bisa berbeda. Tidak ada yang namanya tim building dari awal, tapi langsung harus bekerja bersama,” kata Arsjad.

Baca Juga: Arsjad Rasjid Pimpin Delegasi Bisnis Indonesia dalam ASEAN Leaders Interface Meeting

Bukan hanya itu, dalam hal motivasi kerja, dunia korporasi memungkinkan pemberian insentif seperti gaji, bonus, atau penghargaan. Sementara itu, di ranah politik, ia tidak bisa memberikan kompensasi finansial.

Sebagai gantinya, Arsjad menerapkan “sistem malu” berbasis pencapaian. Caranya, hasil kinerja setiap divisi dipublikasikan, sehingga divisi dengan nilai rendah terdorong untuk memperbaiki performa. Menurutnya, cara ini cukup efektif memacu semangat kerja tanpa imbalan materi.

Pengalaman memimpin tim di dua dunia yang berbeda ini membuat Arsjad menyadari bahwa pendekatan manajemen tidak bisa diseragamkan. Jika di bisnis keselarasan nilai menjadi fondasi, di politik kemampuan adaptasi dan memahami perbedaan menjadi kunci keberhasilan.