Growthmates, dalam upaya menghubungkan masa lalu dengan masa kini, kita harus menyadari bahwa kekuatan dan peran tokoh perempuan di masa lalu bukan hanya warisan sejarah, tetapi juga pelajaran abadi tentang ketahanan dan kegigihan.
Indonesia sendiri telah melahirkan tokoh perempuan yang keberaniannya melampaui zamannya. Tak terkecuali dari wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel). Tak hanya itu, provinsi ini pun sudah sejak lama dikenal sebagai wilayah yang banyak melahirkan sejumlah sosok berpengaruh yang menggurat cerita sarat pencapaian.
Peran tokoh-tokoh perempuan asal pulau yang dijuluki Rotterdam Van Celebes ini tidak hanya mempertahankan tanah air, tetapi juga mempertahankan hak dan martabat perempuan.
Kisah mereka, yang seringkali kurang mendapatkan sorotan dibandingkan pahlawan laki-laki, adalah sumber inspirasi yang tak tergantikan.
Dari sekian banyak tokoh perempuan terkemuka Sulsel, berikut Olenka sajikan profil singkat 8 nama dari beragam latar belakang. Siapa saja mereka?
Baca Juga: 5 Tokoh Perempuan Tangguh Asal Aceh yang Mengukir Sejarah
1. Colliq Pujie
Colliq Pujie adalah seorang bangsawan Bugis, sastrawan, sejarawan sekaligus ilmuwan kelahiran tahun 1812. Ia pun biasa disebut Retna Kencana Datoqna La Pageqlipue, seorang pengarang dan intelektual perempuan yang lahir pada abad ke-19 di Sulawesi Selatan.
Kemampuan menyalin kembali dan mengedit La Galigo tentunya tidak bisa dilakukan sembarang orang. Hanya mereka yang betul-betul ahlilah yang bisa melakukannya.
Dalam hal ini, Colliq Pujie telah memperlihatkan diri sebagai perempuan cerdas yang mengetahui secara baik dan mendalam sastra dan budaya Bugis. Selain itu, dia telah menulis karya-karya seperti La Toa yang merupakan kredo politik Colliq Pujie.
Menyadur karya sastra bernilai tinggi baik yang berasal dari Bugis maupun bangsa lain seperti Melayu dan Persia juga dilakukan cucu saudagar ternama ini. Sebagai sejarawan, pengetahuan dan pemahamannya dibuktikan saat perempuan beranak tiga ini misalnya menuliskan Sejarah Kerajaan Tanete.
Colliq Pujie juga sempat berpengaruh lantaran bertindak sebagai wakil ayahnya untuk segala urusan istana, dinamika politik memaksanya menyerahkan status kepala pemerintahan kepada putrinya. Status de facto pemimpin Tanete membuat Colliq Pujié dianugerahi gelar Datu' Tanete.
Selama terasing dari Tanete, Colliq Pujie menetap di Makassar sejak tahun 1857 atas izin gubernur. Di sinilah ia ikut serta dalam proyek pembukuan I La Galigo, epos sakral peradaban Bugis, bersama Benjamin Frederik Matthes yang tak lain seorang ahli bahasa asal Belanda.
Dibutuhkan waktu cukup lama bagi Colliq untuk menyalin naskah folio setebal 2.850 halaman, yang diperkirakan hanya sepertiga dari keseluruhan cerita I La Galigo. Atas jasanya ini, nama Colliq Pujie pun dikenal sebagai pahlawan literasi masyarakat Bugis.
2. Opu Daeng Risadju
Famajjah, yang memiliki gelar kebangsawanan Opu Daeng Risadju, merupakan pejuang wanita asal Sulawesi Selatan yang menjadi Pahlawan Nasional Indonesia. Ia terpilih sebagai Ketua Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Selain itu, dia juga mendirikan cabang PSII Palopo pada 14 Januari 1930. Selain itu, dia juga mendirikan cabang PSII Palopo pada 14 Januari 1930.
Dalam perjuangannya, ia mendapat penyiksaan, yang mengakibatkan dirinya tuli seumur hidup. Ia pernah tertangkap oleh tentara NICA dan ditahan di penjara Bone selama satu bulan tanpa diadili, kemudian dipindahkan ke penjara Sengkan, dan dipindahkan lagi ke Bajo.
Di situ, Opu Daeng Risadju pun mengalami penyiksaan sehingga menjadi tuli seumur hidup. Opu Daeng Risadju kemudian dibebaskan tanpa diadili setelah 11 bulan menjalani tahanan dan kembali ke Bua lalu menetap di Belopa.
Opu Daeng Risaju wafat di usia 84 tahun pada 10 Februari 1964 dan dimakamkan di raja-raja Lokkoe di Palopo. Ia dianugerahkan gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2006.
3. Emmy Saelan
Emmy Saelan adalah wanita yang disegani dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Sulawesi Selatan. Saat itu, tokoh-tokohnya didominasi sosok pria macam Wolter Monginsidi, Abdullah Daeng Sirua, Andi Abdullah Bau Massepe dan Ranggong Daeng Romo.
Perempuan yang lahir pada 15 Oktober 1924 ini adalah sosok perawat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Sulawesi Selatan pada tahun 1946 silam. Ia merawat tentara yang terkena peluru serdadu Belanda.
Nama Emmy Saelan santer disebut saat Belanda ingin menguasai kembali Indonesia setelah kemerdekaan diproklamasikan secara nasional. Upaya Belanda itu terjadi sekitar tahun 1945-1949 melalui peristiwa agresi militer pertama dan kedua.
Pada masa perjuangan itu, ia pernah mengemban peran dalam misi spionase dan terlibat operasi mata-mata. Hal tersebut dilakukan untuk mencari informasi mengenai kekuatan lawan KNIL/NICA di Makassar.
Dalam perjalanan tersebut, Emmy dikepung oleh KNIL/NICA. Saat itu, Emmy melawan dengan melemparkan granat. Sayangnya, ledakan granat tidak meluluhkan pasukan KNIL, malah justru membuat Emmy gugur dalam peristiwa tersebut. Jenazah Emmy sempat dikubur oleh Belanda di lokasi pertempuran, sebelum dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Panaikang.
Dalam Jurnal Nasional berjudul "Emmy Saelan: Perawat yang Berjuang", sejarah mencatat bahwa Emmy Saelan berperan dalam pemogokan "Stella Marris". Aksi ini sebagai bentuk protes terhadap penangkapan Gubernur Sulawesi Sam Ratulangi.
Baca Juga: 5 Tokoh Perempuan Inspiratif Asal Sumatra Barat