Kasus bullying atau perundungan di sekolah masih jamak terjadi di Indonesia kendati lembaga pendidikan dan pemerintah mengeklaim diri sudah mati-matian putar otak untuk menyelesaikan berbagai bentuk perundungan, namun nyatanya praktik ini tetap saja berlangsung.
Baru-baru ini publik dikagetkan dengan aksi ledakan di SMAN 72 Jakarta, dimana pelakunya disebut-sebut merupakan salah satu korban perundungan.
Baca Juga: Prabowo Ungkap Jasa Jokowi di Balik Pembangunan RS Kardiologi Emirates-Indonesia di Surakarta
Tak hanya itu, beberapa bulan lalu publik juga dikejutkan dengan kematian mahasiswa Universitas udayana, Timothy Anugerah Saputera yang memilih mengakhiri hidup karena dirundung teman-temannya.
Maraknya kasus perundungan di dunia pendidikan Indonesia dinilai terjadi karena banyak faktor, salah satu yang paling utama adalah mengenai cara lembaga pendidikan dan pemerintah menyikapi masalah tersebut.
Selama ini, baik lembaga pendidikan maupun pemerintah dinilai hanya fokus menggodok peraturan larangan bullying, namun implementasi dari peraturan itu dianggap masih terlampau minor.
"Ini sebuah cara yang kurang tepat di dalam merumuskan permasalahan. Memang benar harus ada regulasinya dan saya rasa kalau regulasinya itu kurang tepat, regulasinya bisa diubah," kata Pemerhati pendidikan, Doni Koesoema saat memaparkan riset Indostrategi terkait pendidikan dilansir Selasa (25/11/2025).
Parahnya lagi regulasi yang diharapkan menjadi dasar hukum untuk menyudahi aksi perundungan di sekolah, justru menyisakan celah menganga yang malah memuluskan aksi perundungan tersebut.
Salah satu contohnya adalah soal keengganan para guru yang menegur anak didik yang bermasalah, lantaran khawatir melanggar hak siswa yang bisa saja berimbas pada masalah yang lebih besar.
Harus diakui belakangan ini juga marak kasus guru dimejahijaukan lantaran para siswa dan orang tua wali murid tak terima anak mereka ditegur atau disanksi karena kesalahan mereka.
Menurut Doni untuk memberantas perundungan di sekolah, regulasi saja tidak cukup. Perlu ada tindak lanjut yang lebih dalam untuk mensterilkan sekolah dari aksi bullying.
“Pertama, sekolah harus membangun sistem faktual, bukan hanya sekadar tim pencegahan kekerasan atau satgas yang tercatat di Dapodik, tetapi tidak pernah dilatih. Orang tua pun harus tahu harus menghubungi siapa ketika terjadi bullying,” jelasnya.
Kedua, kapasitas guru dan dinas pendidikan perlu diperkuat. Guru harus memahami standard operating procedure (SOP) penanganan bullying dan bisa merespons dengan cepat saat kasus terjadi.
Ketiga, orang tua harus proaktif. Laporan bullying yang masuk ke sekolah harus ditindaklanjuti dengan serius, tidak dianggap sepele. Doni menegaskan, korban yang melapor tidak boleh menjadi korban kedua akibat penanganan yang buruk.
"Jadi, membuat peraturan menteri agar sekolah aman harus dilihat dalam kerangka regulasi yang sudah ada. Intinya yang sudah bagus tinggal diperkuat eksekusinya. Kerja nyata. Tidak usah menambah peraturan baru," tegasnya.
Doni menambahkan, satgas bullying harus terdiri dari orang-orang berintegritas yang bisa menjaga kerahasiaan korban dan memastikan pencegahan serta penanganan kekerasan di sekolah berjalan efektif.
Baca Juga: Creative Advisor InJourney Berbicara Syarat Kolaborasi di Dunia Industri Kreatif
"Mereka harus orang-orang yang berintegritas karena kalau tidak, ketika anak lapor rahasianya, justru menjadi korban kekerasan dua kali. Kita harus melindungi harkat dan martabat anak-anak di sekolah," pungkas Doni Koesoema.